HOLOPIS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi hingga kini belum menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) kasus dugaan suap di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) atas nama pengusaha M Suryo.

Padahal nama pengusaha asal Yogyakarta itu telah disepakati dimintai pertanggungjawaban hukum dalam gelar perkara atau ekspos beberapa waktu lalu.

Demikian diungkapkan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata. Menurut Alexander, peningkatan status M Suryo dalam ekspos berdasarkan kecukupan alat bukti terkait dugaan suap di DJKA.

“Sprindiknya belum terbit, kan baru ekspose. kawan-kawan penyidik, penuntut umum, menemukan ada dugaan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dengan kecukupan alat bukti,” ungkap Alex, sapaan Alexander Marwata, di gedung KPK, Jakarta, seperti dikutip Holopis.com, Rabu (20/12).

“Sesimpel itu sebetulnya pada saat ekspose itu. pimpinan, kalau mereka sudah paparan, dan pimpinan menilai alat buktinya cukup, perbuatannya termasuk Tipikor, kita bisa apa? kan ngga bisa juga kita “Nah itu jangan” nanti rame lagi, pimpinan menghentikan suatu kasus tertentu,” ditambahkan Alex.

Disisi lain, Alex mengaku tak mengetahui soal rumor kedekatan M Suryo dengan mantan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto. “Kejadian sebenarnya saya gak pernah melihat. misalnya yang bersangkutan bertemu atau mengadakan pertemuan dan lain sebagainya,” imbuh Alex.

Alex juga mengaku tak mendapat ancaman dari Karyoto yang kini menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya. Sebaliknya, Alex justru hanya mendengar adanya ancaman ke komisioner KPK lain atau koleganya terkait pengusutan dugaan suap proyek di Ditjen Perkeretaapian (DJKA). Ia mengaku mendapat pengakuan dari beberapa pimpinan tapi tak dirinci siapa saja.

“Saya hanya mendengar cerita dari beberapa pimpinan begitu. Benar atau tidaknya nanti yang bersangkutan sendiri (yang cerita),” ujar Alex.

Sebab itu, Alex tak dapat menjelaskan lebih lanjut soal kabar ancaman yang terungkap dalam praperadilan Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Kubu Firli Bahuri sebelumnya menyampaikan kasus dugaan pemerasan yang menjeratnya bukan murni penegakan hukum.

Ada hal yang melatari yaitu penyidikan perkara Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Direktorat Jenderal Perkeretapian (DJKA) yang dilakukan oleh KPK tanggal 12 April 2023. Muhammad Suryo dalam perkara itu disebut terlibat dan turut menerima sleeping fee Rp 9,5 miliar dari komitmen Rp 11,2 miliar.

Adapun Karyoro dituding membantu Muhammad Suryo. Bahkan, Karyoto dituding sempat mengancam penyidik hingga pimpinan KPK agar tak menetapkan Suryo sebagai tersangka di kasus suap.

“Cerita. Hanya cerita, benar atau tidaknya tentu yang bersangkutan sendiri kan. Saya kan hanya testimoni de auditu,” tandas Alex.

Tim advokasi Bidang Hukum (Bidkum) Polda Metro Jaya sebelumnya telah membantah replik gugatan praperadilan Firli yang dibacakan kuasa hukumnya, Ian Iskandar. Mereka juga menilai dalil dari kubu Firli itu sangat bias. Sebab, tak pernah ada dalam permohonan praperadilan. Sehingga, perihal tersebut dianggap hanyalah asumsi yang sesat dan mengada-ada dan mengaburkan tujuan diajukannya praperadilan.

“Termohon tidak perlu menanggapinya,” ucap anggota tim advokasi Bidkum Polda Metro Jaya dalam persidangan, Rabu (13/12).

Belum lama ini, hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memutuskan tak menerima gugatan praperadilan Firli Bahuri. Hakim justru menyatakan penetapan tersangka Firli Bahuri oleh Polda Metro Jaya atas kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL), adalah sah.

Firli mengaku kaget atas putusan tersebut. Sebab, pada umumnya putusan pengadilan adalah ditolak atau dikabulkan.

Atas putusan itu, Firli akan ikuti proses hukum. Namun, Firli meminta tak dihakimi selama proses itu berlangsung. Sebab, dalam proses penegakan hukum, terdapat asas praduga tidak bersalah, persamaan hak di muka hukum, dan mewujudkan tujuan penegakan hukum, yakni keadilan dan kehormatan. Selain itu, Indonesia merupakan negara hukum atau rechstaat, bukan negara kekuasaan atau machstaat.

“Kita akan ikuti proses hukum, due process of law. Kita berharap tidak ada anak bangsa yang terjerumus didalam opini. Karena pada prinsipnya penegakan hukum itu harus ada asas praduga tak bersalah, persamaan hak di muka hukum, dan haruslah juga mewujudkan tujuan penegakan hukum: keadilan dan kehormatan. Tolong tidak ada yang menghakimi seseorang. Kita patuhi asas praduga tak bersalah,” kata Firli dalam keterangannya.