HOLOPIS.COM, JAKARTA – Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkeyakinan pemberian uang Rp 6 miliar dari PT Cahaya Kalbar kepada mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo disamarkan melalui jual beli aset rumah, di Perumahan Taman Kebon Jeruk, Blok G1, Kav 112, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Kota Jakarta Barat.
Jual beli rumah itu diyakini untuk menutupi pemberian suap kepada Rafael Alun terkait pemeriksaan pajak salah satu anak usaha Wilmar Group tersebut.
Demikian terungkap saat jaksa KPK membacakan uraian analisa yuridis yang termaktub dalam surat tuntutan terdakwa Rafael Alun, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (11/12). Merujuk keterangan sejumlah saksi yang telah dihadirkan dalam persidangan, jaksa menilai transaksi lahan tersebut tidak wajar.
“Hal ini menunjukan bahwa transaksi penjualan tanah tersebut hanya sebagai sarana saja untuk menutupi adanya pemberian sejumlah uang oleh perusahaan Group Wilmar kepada terdakwa,” ungkap jaksa, seperti dikutip Holopis.com.
Dalam uraiannya, jaksa tak percaya bantahan Rafael Alun terkait penerimaan uang senilai Rp 6 miliar dari PT Cahaya Kalbar. Terlebih sebagaimana kesaksian Direktur Operasional dan Keuangan PT Cahaya Kalbar, Jinnawati yang menyebut PT Cahaya Kalbar pernah dilakukan pemeriksaan pajaknya oleh Ditjen Pajak.
Dikatakan Jaksa, Rafael Alun saat itu menjabat sebagai Kepala Seksi Evaluasi dan Kinerja Pemeriksaan pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan Pajak di Jakarta sehingga berwenang melakukan pemantauan, pengawasan, dan pengendalian pelaksanaan evaluasi pemeriksaan oleh tim Direktorat dan Penagihan kepada wajib pajak.
“Sebagaimana kesaksian Jinawati, PT Cahaya Kalbar yang merupakan group perusahaan Wilmar yang pernah dilakukan pemeriksaan pajaknya oleh kantor pajak dan berdasarkan surat dari direktur data informasi perpajakan nomor S191/pj.10/2023 tanggal 25 juli 2023 sebagaimana terlampir dalam berkas perkara, menyampaikan bahwa perusahaan Group Wilmar salah satu wajib pajak yang periode 2006 sampai 2011 dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat P2,” kata Jaksa.
Selain itu, ungkap Jaksa, ada ketidaksesuaian keterangan yang disampaikan Jinawati dan adik kandung pemilik Wilmar Group, Thio Ida saat bersaksi di persidangan beberapa waktu lalu.
“Berdasarkan kesaksian Jiawati dan saksi Thio Ida dihubungkan sendiri ada ketidaksesuaian khususnya nilai transaksi dan cara pembayarannya,” beber Jaksa.
Dimana, kata jaksa, Rafael Alun mengklaim jika nilai transaksi jual lahan sebesar Rp 10 miliar dibayarkan dengan dollar Ameriksa Serikat sejumlah USD 500 ribu dan batangan emas Rp 6 miliar. Padahal, sambung Jaksa, saksi Jinawati secara terang menyebutkan bahwa jual beli tersebut disaksikan oleh Jinawati dengan nilai Rp 6 miliar.
Berdasarkan fakta sidang, Rafael awal kali menjual aset itu kepada Jinawati. Dalam kesaksiannya saat itu, Jinnawati mengaku membeli lahan itu pada tahun 2010 seharga Rp 6 miliar.
“Dan emas batangan tersebut sebelumnya diserahkan oleh terdakwa belum dilakukan konversi apakah senilai 6 miliar atau tidak,” kata Jaksa.
Kemudian aset itu dijual oleh Jinawati kepada Thio Ida pada tahun 2015 dengan harga Rp 6 miliar. Jaksa meyakini transaksi senilai Rp 6 miliar itu bukan nilai yang wajar. Mengingat Thio Ida yang membeli tanah tersebut, tetapi 5 tahun sesudahnya masih dengan harga yang sama Rp 6 miliar.
“Apalagi kalau benar transaksi dengan saksi Jinawati sebesar 10 miliar sesuai keterangan terdakwa menjadi tidak wajar,” ucap Jaksa.
Hal itu, sambung jaksa, dikuatkan oleh keterangan saksi Arsin Lukman selaku notaris yang membuat akta transaksi tersebut yang menyatakan bahwa Arsin Lukman diminta oleh bagian legal PT Cahya Kalbar atas permintaan saksi Jinawati untuk membantu melakukan transksi jual beli tersebut. Jaksa heran jika seandainya transaksi tersebut benar dan menyangut pribadi, mengapa Jinawati melibatkan legal PT Cahya Kalbar.
“Dengan demikian pemberian uang tersebut adalah berkaitan dengan pemeriksaan Pajak yang dilakukan oleh Direktorat P2 kepada perusahaan Group Wilmar,” tandas jaksa.
Rafael Alun sebelumnya disebut dalam dakwaan jaksa menerima gratifikasi sebesar Rp 6 miliar dari PT Cahaya Kalbar. Perusahaan itu merupakan anak usaha Wilmar Group.
Menurut jaksa penerimaan itu terjadi sekitar Juli 2010. Lokasinya di Gedung ABDA, Jalan Jenderal Sudirman, Kavling 58, Senayan, Jakarta Selatan. Aliran itu disamarkan.
Dana dan penyamaran itu dilakukan oleh Direktur Operasional dan Keuangan PT Cahaya Kalbar Jinnawati. Jaksa meyakini gratifikasi itu berkaitan dengan Wilmar Group.
“Terdakwa menerima uang sejumlah Rp6.000.000.000 yang disamarkan dalam pembelian tanah dan bangunan di Perumahan Taman Kebon Jeruk, Blok G1, Kav 112, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Kota Jakarta Barat. PT Cahaya Kalbar yang merupakan salah satu perusahaan dari Wilmar Group,” kata jaksa Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, (30/8).
Rafael Alun didakwa menerima gratifikasi yang dianggap suap sebesar Rp 16,6 miliar terkait perpajakan bersama-sama istri Ernie Meike Torondek. Penerimaan gratifikasi tersebut melalui PT Artha Mega Ekadhana (ARME), PT Cubes Consulting, PT Cahaya Kalbar dan PT Krisna Bali International Cargo.
Ernie merupakan komisaris dan pemegang saham PT ARME, PT Cubes Consulting dan PT Bukit Hijau Asri. Adik Rafael, Gangsar Sulaksono, juga menjadi pemegang saham di PT Cubes Consulting. Selain itu, Rafael juga didakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam periode 2003-2010.