HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Relawan PRABU, Arvindo Noviar menilai bahwa polarisasi terhadap Pemilu 2024 kurang efektif. Sebab, pemilih sekarang lebih didominasi oleh kalangan generasi milenial dan generasi Z yang cenderung lebih rasional dan suka dengan politik riang gembira.
“Polarisasi sudah berkurang, grass root sudah mulai gembira karena ruang publik sudah diisi oleh anak-anak muda. Akses semua sudah semakin luas dan tidak terlalu konservatif, karena pemuda lebih suka berpolitik riang gembira ketimbang senior-senior itu,” kata Arvindo dalam tema ‘Ancaman Polarisasi dan Ujaran Kebencian : Bermuatan SARA di ruang digital di tahun politik’ yang diselenggarakan di Omah Kopi 45, Menteng, Jakarta Pusat seperti dikutip Holopis.com, Selasa (31/10).
Pun demikian, pertarungan ide dan gagasan jelas akan tetap terjadi, sebab walaupun politik riang gembira, anak-anak muda Indonesia masih tetap suka dengan dialektika yang keras.
“Terjadi benturan pemikiran, diskusi yang keras nggak apa-apa, itu kan keniscayaan dalam ruang demokrasi. Tapi, akses pengetahuan yang terdigitalisasi, orang-orang terdewasakan secara alamiah, karena informasi semakin luas dan mudah didapat, bukan dari elite saja,” paparnya.
Ia merasa bersyukur dalam Pilpres 2024 terdapat 3 (tiga) pasangan calon, yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Rasyid Baswedan. Sehingga polarisasi itu cenderung bisa tereduksi.
“Semesta mendukung membuat pemilu Indonesia menjadi 3 pasang, rasa-rasanya kok posisi diametralnya tidak terlalu ketat, ada ruang elaborasi,” ujarnya.
Ditambah lagi, jika dilirik dari isu rasial pun tampaknya tak cukup kuat, sebab nyaris ketiga paslon memiliki latar belakang yang hampir sama, baik dari suku maupun agama. Sehingga ia yakin pertarungan tinggal berada pada gagasan saja.
“Capresnya kan sama-sama dari Jawa, agamanya Islam, tapi kalau untuk isu SARA didramatisasi, buat kalangan gen Z dan milenial nggak laku. Anak muda itu seneng bicara hilirisasi, digitalisasi dan sebagainya,” papar Arvindo.
Pun demikian, ia tetap meminta semua masyarakat Indonesia tidak terpolarisasi dengan perbedaan pilihan politik tersebut. Sebab, pada dasarnya pemilu hanya sebatas mencari sosok yang bakal bekerja lima tahun ke depan.
“Demokrasi kekuasaan di tangan rakyat. Pemilu nanti kita sedang cari pekerja outsourcing lima tahunan, jadi kita semua harus jadi agen pencipta pemilu yang dami,” pungkasnya.