HOLOPIS.COM, JAKARTA – Direktur eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto menilai bahwa Pemilu 2024 sudah menjadi gelanggang pertarungan ide dan gagasan, bukan lagi hoaks dan ujaran kebencian karena SARA seperti di pemilu sebelumnya, termasuk Pilkada DKI 2017 maupun Pilpres 2019 lalu.
“Di medsos atau media saya kira sudah bukan soal hoaks tapi case capras cawapres, lalu soal visi misi dan program,” kata Hari dalam diskusi publik dengan tema ‘Ancaman Polarisasi dan Ujaran Kebencian : Bermuatan SARA di ruang digital di tahun politik’ yang diselenggarakan di Omah Kopi 45, Menteng, Jakarta Pusat seperti dikutip Holopis.com, Selasa (31/10).
Hal ini karena terpengaruh oleh kondisi pemilih saat ini yang didominasi oleh generasi milenial dan GEN Z. Sebab mereka lebih suka berpolitik secara riang gembira, bukan lagi romantisme isu suku, ras, agama dan antar golongan.
“Itu adalah pintu awal bagaimana Gen Z dan milenial bisa melihat capres cawapres untuk memperlihatkan programnya ke depan,” ujarnya.
Fenomena bonus demografi di Indonesia ini menurutnya adalah sebuah keberkahan tersendiri bagi pendewasaan demokrasi di Indonesia. Semua pola politik dipaksa untuk melakukan perubahan format yang lebih akomodatif terhadap kalangan milenial yang cenderung realistis, ingin politik yang menyenangkan, bukan adu domba dan caci maki.
“DPT ke depan untuk gen z dan milenial di Jakarta sudah 50 persen, di nasional hampir 130 juta atau sekitar 65 persen,” tuturnya.
Sehingga bagi aktivis 98 ini, situasi itu membuat demokrasi di Indonesia cenderung semakin positif, sebab persaingan benar-benar dilakukan dengan sehat karena mengedepankan program kerja, ide, gagasan dan visi misi jelas.
“Inilah kedewasaan demokrasi. Jadi demokrasi memang harus lebih positif bukan negatif, dimana persaingan politik soal gagasan dan ide,” tegasnya.
