Thio Ida saat bersaksi membenarkan membeli rumah di Kebon Jeruk dari Jinnawati. Awalnya, kata Thio Ida, dirinya ditawari rumah itu oleh Jinnawati. Tanpa berpikir panjang, Thio Ida yang mengeklaim sedang mencari rumah di Jakarta langsung membeli rumah tersebut secara tunai tanpa negosiasi yang panjang.

“Menurut saya wajar ya, oke saya terima,” kata Thio Ida.

Thio Ida awalnya mengaku membeli rumah itu dengan pecahan dolar AS dan dolar Singapura. Jika dikonversi nilainya setara Rp 6 miliar. Namun, Thio Ida mengaku lupa setelah jaksa membacakan berita acara pemeriksaan yang hanya menyebut dolar Singapura.

“Saudara yakin mengingat bahwa itu dolar Singapura dan dolar AS?,” cecar jaksa.

“Pasti, tetapi nilainya saya lupa tetapi kita konversinya sudah total Rp 6 miliar,” kata Thio Ida.

“Karena keterangan saudara Jinnawati itu hanya dolar Singapura?” cecar jaksa.

“Pasti ada,” jawab Thio Ida.

“Ini ada keterangan saudara di poin tujuh, ‘saya membayarnya dengan menggunakan uang dolar Singapura yang setara dengan Rp 6 miliar’,” ucap jaksa.

“Ya pokoknya penting lebih kurang setara itu,” ujar Thio Ida menimpali.

“Saudara di keterangan ini menyampaikan hanya uang dolar Singapura, enggak ada dolar AS ini bu?,” ujar jaksa.

“Ya terus terang pokoknya lupa pak. Sudah lama. Memang warisan orang tua ini dikasih saya ada uang dolar dan Singapura dolar. Dua-dua dikasih warisan itu ada berbentuk uang tunai,” tutur Thio Ida.

“Ini saat ditanya penyidik, anda baca lagi enggak sebelum anda paraf?” tanya jaksa.

“Mungkin saya lupa ya, sorry saya lupa,” jawabnya.

Selain soal mata uang yang dipergunakan untuk membeli rumah, Thio Ida juga mengaku lupa mengenai notaris yang ditunjuk untuk proses transaski serta nilai rumah yang tercantum dalam akta jual beli (AJB).

“Enggak ingat,” ujar Thio Ida saat dicecar jaksa mengenai nilai rumah yang tercantum di AJB.

“Sumber dananya?,” tanya jaksa.

“Dari warisan orang tua,” ujar Thio Ida.

Dalam kesaksiannya, Thio Ida mengakui suaminya merupakan petinggi di PT Cahaya Kalbar. “Saya tau dia bekerja, tapi yang jelas saya ga ikutin, saya hanya tau dia petinggi disana, jabatannya ga tau,” ucap Thio Ida.

Adapun bos Wilmar Group Martua Sitorus, kata Thio Ida, merupakan kakaknya. “Dia (Martua Sitorus) si abang saya,” ucap Thio Ida.

Rafael Alun sebelumnya disebut dalam dakwaan jaksa menerima gratifikasi sebesar Rp 6 miliar dari PT Cahaya Kalbar. Perusahaan itu merupakan anak usaha Wilmar Group.

Menurut jaksa menjelaskan penerimaan itu terjadi sekitar Juli 2010. Lokasinya di Gedung ABDA, Jalan Jenderal Sudirman, Kavling 58, Senayan, Jakarta Selatan. Aliran itu disamarkan. Dana dan penyamaran itu dilakukan oleh Direktur Operasional dan Keuangan PT Cahaya Kalbar Jinnawati. Jaksa meyakini gratifikasi itu berkaitan dengan Wilmar Group.

“Terdakwa menerima uang sejumlah Rp6.000.000.000 yang disamarkan dalam pembelian tanah dan bangunan di Perumahan Taman Kebon Jeruk, Blok G1, Kav 112, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Kota Jakarta Barat. PT Cahaya Kalbar yang merupakan salah satu perusahaan dari Wilmar Group,” kata jaksa Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, (30/8).

Rafael Alun didakwa menerima gratifikasi yang dianggap suap sebesar Rp 16,6 miliar terkait perpajakan bersama-sama istri Ernie Meike Torondek. Penerimaan gratifikasi tersebut melalui PT Artha Mega Ekadhana (ARME), PT Cubes Consulting, PT Cahaya Kalbar dan PT Krisna Bali International Cargo.

Ernie merupakan komisaris dan pemegang saham PT ARME, PT Cubes Consulting dan PT Bukit Hijau Asri. Adik Rafael, Gangsar Sulaksono, juga menjadi pemegang saham di PT Cubes Consulting. Selain itu, Rafael juga didakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam periode 2003-2010.