HOLOPIS.COM, JAKARTA – Santri merupakan salah satu elemen masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Wajar saja, banyak pahlawan nasional yang memiliki latarbelakang sebagai seorang santri.

Salah satu pahlawan nasional itu yakni Pangeran Diponegoro, yang merupakan santri dari Pesantren Gebang Tinanar, Ponorogo. Ada pula KH. Hasyim Asy’ari, dan masih banyak pahlawan nasional lainnya yang datang dari kalangan santri.

Makna santri

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘santri’ setidaknya mengandung dua makna. Makna penting pertama yakni orang yang mendalami agama Islam, dan pemaknaan kedua adalah orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh.

Namun selama ini, kata santri digunakan masyarakat pada umumnya untuk menyebut kaum atau orang-orang yang sedang atau pernah memperdalam ilmu agama Islam di pondok pesantren.

Terlepas dari berbagai makna santri yang ada, para santri dipandang sebagai yang telah berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia. Maka pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya diperingati senagai Hari Santri Nasional atau HSN.

Sejarah Hari Santri Nasional

Pada mulanya, Hari Santri diusulkan oleh ratusan santri Pondok Pesantren Babussalam, Desa Banjarejo, Malang, Jawa Timur, Jumat, 27 Juni 2014 silam, saat menerima kunjungan Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden.

Pada kesempatan tersebut, Jokowi menandatangani komitmennya untuk menjadikan tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri. Ia pun berjanji akan memperjuangkan komitmen tersebut.

Namun pada perkembangannya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengusulkan agar Hari Santri diperingati pada tanggal 22 Oktober, bukan 1 Muharram. Usulan itu dilatarbelakangi peristiwa Resolusi Jihad.

Kala itu di usia yang baru menginjak dua bulan merdeka, Indonesia kembali diserang oleh Sekutu yang hendak merebut kemerdekaan dari tangan bangsa Indonesia. Demi mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad.

Adapun usulan mengenai Hari Santri diketahui sempat menuai polemik di tengah masyarakat, banyak yang setuju, ada pula yang menolaknya. Beragam alasan penolakan pun muncul, mulai dari kekhawatiran polarisasi, hingga ketakutan akan adanya perpecahan karena ketiadaan pengakuan bagi selain santri.

Namun pada akhirnya, Presiden Jokowi memutuskan untuk menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri pada 15 Oktober 2015 silam.

Keputusan presiden tersebut didasari tiga pertimbangan. Pertama, ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mengisi kemerdekaan.

Kedua, keputusan tersebut diambil untuk mengenang, meneladani, dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa.

Ketiga, tanggal 22 Oktober tersebut diperingati merujuk pada ditetapkannya seruan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia yang mewajibkan setiap muslim untuk membela Tanah Air dan mempertahankan kemerdekaan dari para penjajah.