HOLOPIS.COM, JAKARTA – Gubernur Papua nonaktif, Lukas Enembe menceritakan kegagalan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Hotel Borobudur Jakarta pada tanggal 2 Februari 2019 lalu. Lukas merasa dirinya beserta sejumlah kepala dinas Pemprov Papua saat itu menjadi target operasi senyap lembaga antirasuah.
‘Curhatan’ itu diungkapkan Lukas dalam nota pembelaan atau pledoi yang dibacakan kuasa hukumnya, Petrus Bala Pattyona dalam persidangan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (21/9).
Upaya OTT itu disebut Lukas sebagai salah satu cara KPK mencari-cari kesalahannya. Lukas mengklaim kesalahan itu sengaja dicari-cari seiring berkembang pembangunan di Tanah Papua saat dirinya mempimpin dan bekerja memajukan Bumi Cendrawasih.
“Seiring berkembangnya pembangunan di Tanah Papua, KPK mulai mencari-cari kesalahan saya dengan mencari informasi tentang adanya Dugaan Tindak Pidana Korupsi dan melakukan tindakan penggeledahan di Kantor Gubernur pada tanggal 2 Februari 2017, namun tidak ditemukan adanya korupsi,” ucap Lukas dalam pledoi pribadinya yang dibacakan Petrus, seperti dikutip Holopis.com.
“Belum puas dengan penggeledahan di Kantor Gubernur pada 2 Feburari 2017, KPK mencoba melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada tanggal 2 Februari 2019 di Lobby Hotel Borobudur Jakarta,” kata dia.
Dikatakan, agenda di Hotel Borobudur pada tanggal 2 Februari 2019 itu adalah rapat resmi Pemerintah Provinsi Papua, DPRD, dan Kementerian Dalam Negeri. Disebutkan, KPK saat itu mengirim 6 orang untuk melakukan pemantauan karena ada informasi bahwa bagian keuangan Pemda Provinsi Papua membawa sejumlah uang untuk melakukan penyuapan.
“Seusai rapat dan ketika rombongan Gubernur Papua turun ke Lobby Hotel. Atas informasi tersebut, 2 orang KPK yang memata-matai rombongan Gubernur Papua dan melakukan aktifitas dengan memfoto rombongan dan sering menelepon,” ujar dia.
Atas kejadian itu, sambungnya, seorang Pejabat Pemprov Papua mendekati dan bertanya ke orang tersebut. Dalam interogasi nya, ditemukan komunikasi dalam Whatsapp Grup dan foto yang pada intinya menginformasikan bahwa dalam 1 tas ransel berisi sejumlah uang.
“Begitu dibaca isi WA nya dengan adanya informasi bahwa dalam tas ransel berisi uang, Pejabat Pemerintah Provinsi Papua yang memegang tas ransel kemudian membuka sendiri tasnya yang ternyata isinya berkas,” katanya.
“OTT yang gagal ini kemudian menjadi gaduh sehingga 2 orang Pegawai KPK ini diserahkan ke Polda Metro Jaya untuk pemeriksaan lebih lanjut dan kasusnya ditutup,” tuturnya menambahkan.
Gaduh OTT di Hotel Borobudur pada 2019 itu sebelumnya sempat ramai dibincangkan. Itu mencuat seiring kabar penganiayaan 2 petugas KPK.
KPK saat itu mengklaim bukan hendak melakukan OTT. Selain itu, kedua petugas itu disebut telah mengantongi surat resmi, mengawasi jalannya pembahasan review RAPBD Provinsi Papua tahun anggaran 2019. KPK mengklaim melakukan pengawasan lantaran saat itu menerima informasi adanya indikasi dugaan korupsi dalam kegiatan di hotel tersebut.
Polda Metro Jaya kemudian mengusut adanya dugaan penganiayaan terhadap pegawai KPK tersebut. Polisi kemudian menjerat Sekertaris Daerah Provinsi Papua Hery Dosinaen sebagai tersangka kasus penganiayaan.
Dalam pledoinya, Lukas menuding KPK terus mencari-cari kesalahannya hingga pertengahan tahun 2022 dengan menyelidiki dugaan Tindak Pidana Penyalahgunaan APBD Provinsi Papua. Namun, klaim Lukas, hal itu tak terbukti.
“Dan mulai merekayasa tentang adanya gratifikasi, suap atau hadiah, karena mungkin KPK berpikir bahwa sebagai Gubernur Papua seharusnya tidak perlu membangun Papua menjadi maju dan berkembang setara dengan daerah lain dalam Wilayah NKRI. Mungkin ada pendapat yang menyatakan bahwa bagi orang-orang Papua yang berkulit hitam dan rambut keriting tidak perlu maju atau berkembang. Bagi kami, kulit hitam dan rambut keriting adalah hadiah terindah dari Tuhan,” tandasnya.
Lukas Enembe sebelumnya dituntut 10 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar subsider pidana kurungan pengganti selama 6 bulan. Selain itu Lukas juga dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sejumlah Rp 47.833.485.350.
Tak hanya itu, Lukas juga dituntut pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani hukuman pidana.
Jaksa meyakini dugaan perbuatan rasuah Lukas melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dalam perkara ini, JPU mendakwa Lukas Enembe dengan dua dakwaan. Pertama, Lukas didakwa menerima suap Rp 45.843.485.350 dengan rincian sebanyak Rp 10.413.929.500 dari pengusaha Piton Enumbi selaku Direktur sekaligus pemilik PT Melonesia Mulia, PT Lingge-Lingge, PT Astrad Jaya serta PT Melonesia Cahaya Timur, dan sebanyak Rp 35.429.555.850 berasal dari Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, PT Tabi Bangun Papua sekaligus CV Walibhu. Kedua, Lukas Enembe didakwa menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp 1 miliar dari Budy Sultan selaku Direktur PT Indo Papua pada 12 April 2013.