“Rangkul kalangan muda, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan RT RW, dengan dibantu tokoh agama dan tokoh masyarakat. Promosikan moderasi beragama sekaligus perkuat paham kebangsaan,” tuturnya.

Dalam memahami esensi kebangsaan, semua stakeholder juga harus menjelaskan tentang Indonesia dan semua kesepakatan yang telah ada sejak Republik ini berdiri.

“Berikan pemahaman bahwa Indonesia adalah negara kesepakatan atau di kalangan umat Islam disebut sebagai Daarul Mitsaq. Dalam agama, kesepakatan harus dihormati dan tidak boleh dilanggar. Pancasila adalah piagam dari kesepakatan tersebut, dan kita sudah membuktikan bahwa Indonesia mampu tetap bersatu ketika negara-negara lain dilanda perang saudara,” papar Kiai Maruf.

Nomor tiga, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus mantan Rais Aam PBNU tersebut mengimbau kepada semua kementerian dan lembaga untuk melakukan patroli siber. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kelompok radikal dan intoleran serta teroris tidak bisa bebas menggelontorkan narasi dan kampanye ideologi mereka kepada masyarakat.

“Monitor dan narasi media sosial terutama menjelang Pemilu 2024. Gerakan radikal terorisme berpotensi tumbuh subur menjelang pemilu,” tandasnya.

Ia mengingatkan, bahwa kelompok radikal, intoleran dan teroris tentu sangat memahami adanya medan perang di ranah digital. Mereka sangat berpeluang besar memanfaatkan perkembangan teknologi informasi itu untuk melakukan manuver-manuver.

Sehingga dengan demikian, Kiai Maruf meminta agar aparat jangan sampai kecolongan adanya gerakan tebar narasi intoleran dan kebencian di media sosial dan internet.

“Pahami segala bentuk risiko agar tidak dimanfaatkan oleh kaum toleran untuk mempengaruhi dan mencegah dan memecah belah umat Islam. Cegah penyalahgunaan media sosial agar tidak menjadi tempat yang subur bagi narasi-narasi intoleran dan ujaran kebencian,” pungkasnya.