HOLOPIS.COM, JAKARTA – Kopi dan Coffee-shop merupakan komoditas budaya yang marak digemari oleh kaum urban, dimana hal itu semakin memberikan tanda akan terbentuknya gaya hidup baru yang tumbuh subur terutama di kalangan anak-anak muda.
Gaya hidup ngopi dijadikan ajang berekspresi dan bersosialisasi bagi anak muda lewat budaya nongkrong. Ada asumsi bahwa kebiasaan nongkrong di kedai kopi memiliki nilai lifestyle yang lebih tinggi, ini dibuktikan dengan bergesernya budaya ngopi yang tadinya sekedar ritual di pagi hari menjadi pilihan (gaya hidup) bagi anak muda.
Fenomena tersebut melahirkan sebuah ketertarikan untuk mengetahui bagaimana proses budaya nongkrong di kedai kopi bisa menjadi komodifikasi gaya hidup bagi kaum muda.
Coffee-shop dan budaya nongkrong dilihat sebagai meaningful object, coffee-shop dilihat sebagai sebuah artefak budaya masyarakat urban yang terkait dengan praktek sosial dan kemudian telah diberikan label a social profile or identity.
Budaya ngopi dan coffee-shop yang mengusung budaya anak muda (youth culture) diketahui hadir sebagai medan sirkuit kebudayaan yang menyorot empat momen budaya, produksi, konsumsi, representasi, dan identitas.
Sosiolog Budi Nugroho mengatakan bahwa fenomena “coffee shop” dinilai dapat merepresentasi karakter profesional anak-anak muda.
“Muncul Budaya Baru dari simbol-simbol yang ditunjukkan kafe yang kerapkali berasosiasi pada jiwa muda, produktivitas, dinamis, gaul, mapan, cerdas, elegan, sukses, dan lain-lain,” Ujar Budi, Jumat (10/3).
Budi menambahkan budaya ini juga dipengaruhi karena adanya budaya pop. Salah satunya, seperti film-film dari luar negeri maupun dalam negeri selalu menampilkan adegan-adegan dengan latar kafe, atau juga film-film yang tokoh utamanya akrab dengan kafe, seakan kafe tidak lepas dari keseharian hidup mereka.
“Terdapat dua hal yang saya lihat dari fenomena ini. Pertama, kebutuhan para pekerja urban akan tempat atau ruang kerja (working space), kedua dapat memunculkan ‘masyarakat tontonan’, ketiga menjadi tujuan untuk panjat sosial,” tambah Budi.
Fenomena ini dapat menjadi kebutuhan bagi para pekerja urban yang mencari tempat untuk bekerja dan bisa memberikan nuansa baru sehingga dapat mereduksi kejenuhan kerja. Selain itu, mencari yang dirasa cukup menghibur untuk mengurangi tekanan target-target kerja.
“Ini agaknya juga berlaku bagi para mahasiswa yang memiliki banyak tugas atau sedang dalam tekanan menyelesaikan skripsi,” katanya.
Sedangkan, di era teknologi informasi ini dapat memunculkan apa yang disebut sebagai ‘masyarakat tontonan’, yaitu kultur baru masyarakat untuk selalu mengunggah aktivitas atau berbagai komoditas yang dikonsumsinya di media sosial.
Salah satu bentuk “Masyarakat Tontonan” itu berupa panjat sosial atau menunjukkan status sosial. Kata dia, mengunggah foto sedang berada di kafe setidaknya bisa memenuhi kepentingan ini. Budi juga memaparkan bahwa dampak negative dari budaya ngopi ini adalah, masyarakat menjadi boros dan konsumtif.
Bentuk konstruksi yang mempengaruhi budaya ngopi diantaranya batasan-batasan sumber daya, ideologi, dan fokus geografi. Budaya ngopi telah menjadi pilihan gaya hidup bagi anak muda umumnya untuk memenuhi representasi identitas anak nongkrong yang ideal.