Kemudian terkait dengan pemberlakuan darurat militer Filipina yang digaungkan Marcos, ketegangan semakin meningkat, beberapa golongan masyarakat yang menamakan dirinya Tentara Rakyat Baru dan separatis Muslim terutama Front Pembebasan Nasional Moro melakukan kegiatan gerilya yang bertujuan untuk menjatuhkan pemerintah pusat.
Darurat militer Filipina berakhir pada Januari 1981. Ferdinand Marcos Kembali terpilih sebagai Presiden.
Memasuki tahun 1983, Kesehatan Ferdinand Marcos mulai mengalami penurunan dan penentangan terhadap pemerintahannya semakin meningkat. Pada 21 Agustus 1983 Benigno Aquino Jr pulang ke Manila, pasca turun dari pesawat ia ditembak hingga tewas.
Kasus pembunuhan itu pun dianggap bahwa sudah direncanakan oleh pemerintah, akhirnya protes anti pemerintah secara besar-besaran dimulai kala itu. Terkait hal ini, pada tahun 1984 Ferdinand Marcos menyimpulkan bahwa perwira tinggi militer bertanggung jawab atas pembunuhan Aquino.
Untuk menegaskan Kembali mandatnya, Ferdinand Marcos menyerukan pilpres diadakan pada tahun 1986. Ketika itu Ferdinand Marcos mendapat lawan politik yang tangguh. Carazon Cojuangqo atau lebih dikenal sebagai Carazon Aquino yang merupakan istri Bengno Aquino menjelma menjadi calon presiden dari pihak oposisi.
Carazon Aquino kalah dan Ferdinand Marcos Kembali menjadi presiden untuk Filipina dalam pemilihan 7 Februari 1986. Hasil kemenangannya pun sangatlah diragukan dan dinilai ada kecurangan yang massif dalam proses pemungutan suara yang terjadi.
Ferdinand Marcos akhirnya dijatuhkan dari jabatannya sebagai presiden dalam Revolusi EDSA. Dapat diketahui bahwa Revolusi EDSA merupakan sebuah revolusi yang damai di bawah kepemimpinan Corazon Aquino.