“Jadi pastinya memang dikarenakan kurangnya literasi digital di sisi masyarakat yang secara umum, baik itu di bidang keuangan apalagi literasi di bidang IT,” tutur Ruby dalam program Ruang Tamu Holopis Channel.
Ruby mengatakan, banyak masyarakat yang menerima penawaran yang disodorkan para pelaku investasi bodong tanpa mencari tahu dulu penawaran tersebut, apakah bisnis tersebut legal dan aman. Hal ini karena rata-rata dari mereka yang tertipu investasi bodong tidak mengetahui cara melakukan pengecekan legalitas dari penawaran tersebut.
“Banyak yang terkendala masalah literasi digital tadi. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui bagaimana cara melakukan pengecekan legal atau tidaknya,” tuturnya.
Berdasarkan data dari OJK, indeks literasi keuangan masyarakat di Indonesia hanya tercatat sebesar 38,03 persen per 2019. Sementara, indeks literasi digital berdasarkan data dari katadata.co.id, tercatat masih berada di level 3,49 pada 2021.
Founder dan CEO Astronacci Gema Goeyardi selaku penyedia layanan mengatakan, bahwa kebanyakan masyarakat yang tertipu oleh investasi bodong menginginkan hasil timbal balik investasi dengan kurun waktu yang singkat. Ia pun mengingatkan bahwa investasi dilakukan bukan dengan tujuan memperoleh kekayaan dengan cara yang instan.
“Jadi ini market bukan tempat pesugihan, investasi ini bukan kaya anda bertapa di gunung kawi,” ujar Gema dalam program Ruang Tamu Holopis.
Mereka berfikir dengan melakukan investasi dapat merubah nasibnya dangan cara yang instan. “Mereka itu berpindah dari hidup dia yang susah karena covid, mereka pikir ini jalan satu-satunya dan mereka berpindah dari jualan martabak gak laku menjadi dagang saham atau dagang kripto,” imbuhnya.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total kerugian masyarakat akibat investasi ilegal di Indonesia mencapai Rp117,4 triliun dalam satu dekade terakhir. Hal ini membuktikan bahwa iming-iming “cuan instan” masih sangat ampuh untuk mengelabui masyarakat tanah air.
Salah satu strategi pemasaran investasi bodong dengan merekrut pemengaruh (influencer) di media sosial. Mereka sekaligus sekaligus berperan sebagai affiliator untuk menggaet para calon trader.
Biasanya cara yang dilakukan para influencer untuk meyakinkan masyarakat dengan cara pamer alias flexing. Mereka memamerkan harta kekayaannya untuk menunjukkan kesuksesan mereka dalam melakukan investasi trading.
Contohnya, Indra Kenz, yang kerap mempromosikan keuntungan yang diperoleh dari kegiatan trading. Promosi itu dilakukannya melalui akun YouTube. Tak hanya itu, laki-laki yang dijuluki “Crazy Rich Medan” itu juga sering memamerkan tumpukan uang, jam tangan, pakaian mahal yang dipakainya, serta berbagai koleksi mobil mewahnya.
“Masyarakat hanya tertarik melihat gaya hidup orang tertentu yang berpura-pura melakukan bisnis atau investasi di bidang tertentu, dengan target mengajak para investor baru ataupun masyarakat untuk join di program mereka yang bisa dibilang investasi bodong,” kata Ruby.
Dari kasus Binomo dan Quotex, masyarakat seharusnya dapat lebih berhati-hati terhadap investasi ilegal yang masih marak bertebaran di tanah air. Maka dari itu, penting untuk mengenal sekilas ciri-ciri investasi ilegal.
Pertama, periksa lisensi atau legalitas dari aplikasi atau perusahaan investasi.
Kedua, jangan cepat percaya jika ada investasi yang menawarkan keuntungan yang tinggi atau tidak wajar. Apalagi jika perusahaan investasi tersebut tidak memiliki aset dasar yang jelas.
Ketiga, jangan gampang dipengaruhi. Tetap kritis, meskipun aplikasi investasi gencar berpromosi dengan menjual nama tokoh atau influencer.
Selain masyarakat, Ruby berharap pemerintah dan aparat penegak hukum dapat meningkatkan atensinya untuk mencegah dana masyarakat diambil oleh para pelaku investasi bodong.
“Atensi pemerintah dan aparat penegak hukum mustinya jauh lebih tinggi lagi agar dana masyarakat ini tidak mudah diambil oleh pelaku yang kemungkinan besar adalah jaringan kejahatan siber internasional,” pungkas Ruby.
(NJB,STV)