Kamis, 26 Desember 2024
Marry Christmas 2024

Radikalisme Tantangan Agama

Tulisan Amirsyah Tambunan yang dimuat di Republika (21/12/2021) membuat saya tersenyum sendiri. Judulnya Radikalisme Bukan Agama. Seketika saya langsung bertanya, “Memang sejak kapan radikalisme menjadi agama dan disandingkan dengan agama-agama yang sudah dikenal selama ini?”

Tentu saja, maksud beliau tidak demikian. Beliau jelas lebih ahli tentang agama dibandingkan dengan saya dan rata-rata orang Islam lainnya, hingga beliau dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal Majlis Ulama Indonesia (MUI). Karena itu, saya lalu berharap isi tulisan beliau berupa analisis mendalam tentang agama-agama di Indonesia, termasuk Islam, yang dibuktikan tidak memiliki ajaran yang mengarah ke–apalagi membenarkan—radikalisme. Paling tidak, Amirsyah mengemukakan ajaran-ajaran tertentu dalam agama yang rawan disalahartikan dan disalahtafsirkan menjadi ajaran yang mengarah pada radikalisme serta memberikan arti dan tafsir yang benar.

Alhamdulillah. Pada paragraf kedua, sekalipun tanpa analisis, saya mendapatkan kesimpulan pendek. Bahwa agama, menurut beliau, menolak radikalisme sebab agama membawa kedamaian yang justru dinafikan oleh radikalisme. Sampai di sini, pertanyaan lama tetap tak terjawab: lalu kenapa selama ini radikalisme kerap membawa-bawa agama sebagai pembenaran atas tindakan-tindakan radikal yang dilakukan?.

Dibolak-balik bagaimanapun, akhirnya tetap saja judul tulisan tersebut melahirkan pengertian kalau selama ini sudah ada yang beragama radikalisme; dan agama ini jelas-jelas keliru hingga perlu diluruskan serta dinyatakan kalau radikalisme itu hakikatnya bukan agama.

Isi tulisan Amirsyah menampilkan paradoks antara satu dengan lainnya. Pertama, pada paragraf pertama, Amirsyah menyebut bahwa perbincangan tentang radikalisme sudah memasuki titik jenuh. Sudah tidak menarik lagi jika saat ini kita masih bicara tentang radikalisme. Dengan kata lain, wacana tentang radikalisme cenderung diada-adakan dan dibesar-besarkan.

Tapi di paragraf lain di bawahnya, Amirsyah mengakui wujud potensi radikal dalam setiap pribadi dari masa ke masa. Artinya, siapa pun, di mana pun, kapan pun, setiap pribadi bisa melakukan tindakan-tindakan yang radikal atau menjadi bagian dari radikalisme. Terlepas dari latar belakang ekonomi, budaya, politik, maupun agamanya. Lalu apakah potensi radikal dalam setiap individu itu serta merta musnah dengan hanya menganggap perbincangan tentang radikalisme sudah memasuki titik jenuh?

Kedua, mengutip pengertian radikalisme dari KBBI (tanpa penyebutan), Amirsyah menegaskan kalau radikalisme tidak memiliki sangkut paut dengan agama. Radikalisme murni masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya. Amirsyah lantas mengutip awal mula penyebutan kata radikal oleh Charles James Fox pada tahun 1797 di Britania Raya untuk gerakan revolusi parlemen. Sejak itu, menurut Amirsyah, radikalisme berkembang dan berbaur dengan liberalisme. Berawal dari radikalisme di ranah politik, terus berkembang ke ranah-ranah lain secara liberal.

Anehnya, di paragraf berikutnya, Amirsyah justru membuat contoh ISIS yang menjadikan agama Islam sebagai dasar bagi gerakan-gerakan radikal mereka. Sekalipun tidak memasukkan ISIS sebagai bagian dari agama Islam dan menyebutnya ‘mainan’ dari kelompok tertentu yang ingin menyalahgunakan Islam, tapi dengan menyebut ISIS saja, Amirsyah sudah tidak bisa berpaling jauh dari pengertian radikalisme sebagai gerakan yang tidak memiliki sangkut paut dengan agama. Bukankah kelompok tertentu yang menjadikan ISIS ‘mainan’ tersebut malah mengarah pada kelompok atau negara yang berhaluan liberal dan sejatinya tidak peduli dan tidak berkepentingan dengan agama?

Ketiga, karena radikalisme tidak ada sangkut pautnya dengan agama, Amirsyah menyeru umat Islam untuk berada di garis terdepan dalam menolak anggapan umat Islam tertuduh radikalisme. Kalimat ini diulang sampai dua kali seolah-olah sebagai penegasan bahwa selama ini umat Islam acuh tak acuh menyikapi tuduhan Islam radikal yang ditudingkan oleh pihak-pihak tertentu. Namun di sisi lain, Amirsyah menyadari tentang adanya pengajaran agama yang keliru, sehingga memunculkan orang-orang yang radikal. Bahkan pada penyebab ketiga pemicu radikalisme, yaitu terkait dengan ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap pemimpin negara yang hanya berpihak pada kelompok tertentu, Amirsyah jelas-jelas menyebut kelompok agama –di samping kelompok sosial dan kelompok politik— sebagai pihak yang bisa melakukan radikalisme.

Lantas bagaimana cara menolak tuduhan radikalisme dengan kenyataan masih terdapat pengajaran agama yang keliru dan mengarah ke radikalisme? Bukankah –konsisten dengan pemikiran tidak ada radikalisme dalam agama—dengan sendirinya umat Islam dan umat-umat agama lainnya akan menolak radikalisme dengan alasan apa pun? Terlepas dari beberapa kontradiksi tersebut, saya sependapat mengenai wujud potensi radikal dalam setiap pribadi dari masa ke masa. Radikalisme tidak akan mencapai titik jenuh dan tetap menjadi ancaman sebab faktor-faktor pemicu radikalisme mustahil dapat dinolkan. Jauh sebelum Charles James Fox mengemukakan istilah radikal, rentetan tindakan yang semakna sudah dilakukan. Dari sejak Kabil dan Habil hingga ke Brutus dan Julius Caesar.

Temukan kami di Google News, dan jangan lupa klik logo bintang untuk dapatkan update berita terbaru. Silakan follow juga WhatsApp Channnel untuk dapatkan 10 berita pilihan setiap hari dari tim redaksi.

Berita Lainnya

Presiden Republik Indonesia

BERITA TERBARU

Viral