Berita Holopis Korban menghadapi hambatan luar biasa untuk menceritakan pengalamannya, bahkan banyak tangan kuasa yang tidak terlihat yang berusaha membungkam, bahkan dari keluarga, lingkungan pendidikan hingga elite-elite lain di kalangan masyarakat, sehingga semakin mempersulit korban terbuka.

Relasi kuasa ini menurut Andy bisa berasal dari berbagai latar belakang, bahkan bisa jadi relasi kuasa ini berasal dari keluarga mereka sendiri.

“Korban menghadapi hambatan luar biasa untuk menceritakan pengalamannya, bahkan banyak tangan kuasa yang tidak terlihat yang berusaha membungkam, bahkan dari keluarga, lingkungan pendidikan hingga elite-elite lain di kalangan masyarakat, sehingga semakin mempersulit korban terbuka,” jelasnya.

Beda kekerasan seksual dan pelecehan seksual

Sekilas perlu diketahui bersama, bahwa sebenarnya ada perbedaan yang cukup mendasar dari dua hal ini, yakni antara kekerasan seksual dengan pelecehan seksual. Pemahaman ini dianggap penting karena jangan sampai masyarakat salah menempatkan dua istilah ini sehingga mengaburkan substansi.

Kekerasan seksual merupakan istilah yang cakupannya lebih luas daripada pelecehan seksual. Pelecehan seksual adalah salah satu jenis dari kekerasan seksual.

Secara makna, pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi dimana reaksi seperti itu adalah masuk akal dalam situasi dan kondisi yang ada, dan tindakan tersebut mengganggu kerja, dijadikan persyaratan kerja atau menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan atau tidak sopan.

Pelecehan seksual bisa dilakukan menggunakan kekuatan verbal seperti rayuan dan ajakan yang bertujuan seksualitas namun membuat subyek yang dituju merasa tidak nyaman dan tersinggung. Bahkan bisa jadi pelecehan seksual ini dilakukan dengan tangan seperti memegang tubuh dan alat vital.

Lalu apa saja tindakan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada 15 perilaku yang bisa dikelompokkan sebagai bentuk kekerasan seksual, antara lain ;

  1. Perkosaan
  2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
  3. Pelecehan seksual
  4. Eksploitasi seksual
  5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
  6. Prostitusi paksa
  7. Perbudakan seksual
  8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
  9. Pemaksaan kehamilan
  10. Pemaksaan aborsi
  11. Pemaksaan kontrasepsi seperti memaksa tidak mau menggunakan kondom saat berhubungan dan sterilisasi
  12. Penyiksaan seksual
  13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
  14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan (misalnya sunat perempuan)
  15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Perjuangan penuntasan kasus kekerasan seksual di Indonesia

Pun banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, banyak kalangan yang terus fokus bagaimana memperjuangkan agar kasus kekerasan seksual tersebut bisa dientaskan. Salah satunya adalah dengan upaya perjuangan melalui jalur yuridis. Banyak kalangan yang ingin agar ada sebuah instrumen regulatif yang bisa dijadikan alat untuk menanggulangi kasus kekerasan seksual ini. Salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Regulasi ini sebelumnya sudah masuk ke dalam pembahasan di DPR RI, bahkan sempat masuk dalam pembahasan di Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS. Harapannya, di masa sidang paripurna 2021 ini akan dibahas dan dijadikan Undang-Undang. Sayangnya, harus mundur kembali karena RUU tersebut batal masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi NasDem, Muhammad Farhan memberikan respon terkait dengan batalnya RUU TPKS masuk di dalam pembahasan di Rapat dan Sidang Paripurna 2021. Ia menyebut bahwa DPR tengah mengalami kebuntuan pada dua Rancangan Undang-undang (RUU) yang dinantikan masyarakat. Yakni, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Terutama TPKS, gagal disahkan di tengah mencuatnya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang saat ini tengah marak di Indonesia. Yang cukup besar dan menggegerkan publik adalah kasus asusila dan pedofilia yang dilakukan oleh Herry Wirawan, seorang pimpinan pondok pesantren Madani atau boarding school Al Ikhlas.

Sayangnya, upaya pendorongan RUU TKPS diparipurnakan ditentang oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Salah satu anggota Badan Legislasi (Baleg) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Al Muzammil Yusuf menyatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak setuju terhadap RUU tersebut disahkan menjadi RUU usul inisiatif DPR.

Ia beralasan bahwa RUU tersebut mengatur persetujuan seks atau sexual consent yang berpotensi menghadirkan seks bebas.

“Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan menolak hasil panja tersebut untuk dilanjutkan ke dalam tahap selanjutnya,” ujar Al Muzammil dalam rapat panitia kerja (Panja) RUU TPKS, Rabu (8/12).

PKS, kata Al Muzammil, tegas tak akan menyetujui RUU TPKS berdiri sebagai undang-undang. Selama di dalamnya belum mengatur larangan tentang perzinahan dan penyimpangan seksual, seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

“Hal tersebut tidak sesuai dengan nilai Pancasila, budaya, dan norma agama yang dianut bangsa Indonesia. Maka Fraksi PKS menolak RUU TPKS sebelum didahului adanya pengesahan larangan perzinahan dan LGBT yang diatur dalam undang-undang yang berlaku,” ujar Al Muzammil.

Bahkan beberapa organisasi dan lembaga pun ikut bersuara dan mendorong agar regulasi terkait penanggulangan kekerasan seksual segera diterbitkan. Salah satunya adalah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Riset Teknologi (Kemendikbud Ristek). Lembaga negara yang dipimpin oleh Nadiem Anwar Makarim tersebut sampai mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

Nadiem menyatakan Indonesia belum memiliki peraturan perundangan yang dapat menangani permasalahan kekerasan seksual di lingkup kampus. Oleh karena itu, ia menyatakan Permendikbud Nomor 30 atau PPKS dibuat untuk mengisi kekosongan dasar hukum yang melindungi kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Pasalnya, peraturan yang ada pada saat ini hanya mencakup perlindungan kekerasan seksual dari kondisi-kondisi tertentu. Ia mencontohkan UU Perlindungan Anak hanya melindungi bagi anak di bawah 18 tahun. Lalu UU PKDRT yang menyasar lingkup rumah tangga.

Selain Kemendikbud Ristek, ada juga Nahdlatul Ulama (NU) yang ikut bersuara dan mendorong lahirnya RUU TPKS di DPR. Hal ini tersampaikan di dalam rapat komisi di tengah Muktamar ke 34 NU di Lampung.

Komisi Rekomendasi Muktamar ke-34 NU Lampung meminta agar DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

“Negara perlu mengesahkan RUU TPKS sebagai payung hukum pencegahan kekerasan seksual,” kata Ketua Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid (Alissa Wahid) saat membacakan rekomendasi di arena Muktamar NU, Lampung, Kamis (23/12).

Alissa menegaskan selama ini kekerasan seksual sudah banyak menelan banyak korban. Oleh karena itu, ia menyampaikan bahwa negara perlu memperkuat program pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Program itu nantinya bisa menyasar oleh anggota keluarga yang cenderung lemah dan dilemahkan.

“Seperti perempuan anak dan individu berkebutuhan khusus,” kata Alissa.