JAKARTA, HOLOPIS.COM – Kekerasan seksual saat ini tengah menjadi sorotan serius dari berbagai kalangan. Isu yang cukup tabu di masyarakat ini ternyata memiliki kompleksitasnya sendiri. Hal ini karena kekerasan seksual tidak hanya sekedar pemerkosaan semata, akan tetapi hal-hal lainnya juga bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual, beberapa diantaranya adalah penyeberan foto maupun video telanjang, kemudian aksi pemaksaan hubungan seksual suami istri. Bahkan memaksa orang untuk menggugurkan kandungan atau aborsi juga bisa dimasukkan ke dalam kategori kekerasan seksual.
Berdasarkan keterangan dari badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), kekerasan seksual dapat diartikan sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman. Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas oleh gender dan hubungan dengan korban.
Artinya, perilaku berbahaya ini bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan kepada siapapun termasuk istri atau suami, pacar, orangtua, saudara kandung, teman, kerabat dekat, hingga orang yang tak dikenal. Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk rumah, tempat kerja, sekolah, atau kampus.
Kasus kekerasan seksual di Indonesia ternyata tidak sedikit. Bahkan berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), jumlah pengaduan masyarakat yang ditampung pihaknya memiliki peningkatan yang cukup signifikan di tahun 2021.
Hal ini seperti diutarakan oleh Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Ratna Susianawati. Dalam sebuah wawancara di Ruang Tamu Holopis Channel dengan tema “Darurat Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia”, ia mengatakan bahwa sepanjang 2021 ini, aduan terkait dengan kasus kekerasan pada perempuan dan anak meningkat di seluruh Indonesia.
“Kami memiliki sistem informasi online yang kami bangun dan ini tempat pelaporan dari seluruh daerah baik Provinsi maupun Kabupaten / Kota. Ini pelaporan yang masuk sepanjang 2021, untuk perempuan 7.000 lebih kasus yang masuk, untuk anak sebesar 10.000 lebih,” kata Ratna, Selasa (14/12).
Kemudian dari jumlah kasus yang disebutkannya itu, Ratna kemudian membreakdown, bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan lebih didominasi oleh tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sementara untuk kasus anak-anak, pihaknya mencatat laporan yang masuk didominasi oleh kasus kekerasan seksual.
“Terhadap perempuan didominasi kekerasan dalam rumah tangga, kalau untuk anak pelaporan kekerasan seksual,” terangnya.
Kemudian, Ratna juga menyampaikan bahwa Kementerian PPPA telah menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS) untuk merekam potensi kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Ia terenyuh dengan data yang didapati bersama Kementerian dan Lembaga Negara tersebut.
“Pada tahun 2016 lalu kita bersama BPS melakukan survei pengalaman hidup perempuan nasional, (ternyata) 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan. Kemudian 2 dari 3 anak mengalami kekerasan,” jelasnya.
Sementara itu, berdasarkan data survei yang dirilis oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pada bulan September 2020, mayoritas kasus kekerasan seksual di Indonesia tidak selesai, jumlahnya bahkan sampai 57 persen responden menyebut kasus tersebut tidak berujung pada penyelesaian perkara.
Setidaknya ada 1.586 responden yang dijaring dalam program rekam jejak periode Mei-Juli 2020 untuk mengukur studi kuantitatif barometer kesetaraan gender.
Ternyata isu kekerasan seksual ini pun tidak hanya menimpa Indonesia saja. Bahkan beberapa negara di dunia termasuk di Benua Eropa juga tercatat memiliki kasus kekerasan seksual yang cukup signifikan.
Berdasarkan data dari WHO untuk tahun 2021 ini, setidaknya tercatat mayoritas kekerasan seksual yang dialami oleh para perempuan usia 15-49 tahun ada di Ethiopia sebanyak 58,6 persen. Kemudian disusul oleh Bangladesh sebanyak 49,7 persen, Peru sebanyak 4,6 persen.
Selanjutnya ada di negara Timur Tengah yakni di Republik Tanzania, ada sekitar 30,7 persen kekerasan seksual dalam skala dunia. Dilanjutkan oleh Thailand sebanyak 29,9 persen, hingga kemudian Jepang sebanyak 6,2 persen.
Literasi jadi penyebab masih maraknya kekerasan seksual
Selanjutnya, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani juga membaca fenomena kasus kekerasan seksual mengapa sampai banyak terjadi. Salah satu alasannya adalah karena masih kurangnya literasi dan pemahaman publik terhadap apa itu kekerasan seksual. Kurangnya pemahaman masyarakat tersebut membuat beberapa kasus yang sebenarnya masuk dalam kategori kekerasan seksual dianggap sesuatu yang biasa. Akibatnya, banyak publik lebih permisif dengan kasus-kasus tertentu.
Di sisi lain, ada sebuah relasi kuasa yang juga menjadi penyebab mengapa kasus kekerasan seksual di Indonesia masih marak. Banyak korban yang justru tidak bisa mengungkapkan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya karena adanya potensi tekanan sosial yang bisa saja dialaminya.
“Analisis sosial tentang struktur masyarakat dan relasi kuasa itu tidak sederhana, itu multi aspek dan multi dimensi bagi kita yang memperjuangkan penghentikan kekerasan seksual,” kata Andy dalam dialog virtual bersama Holopis.com, Selasa (14/12).