Berita Holopis Selain itu, ada juga perubahan substansi di halaman 388 RUU Ciptaker yang disetujui DPR dan presiden mengubah UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Aturan tersebut mengubah ketentuan Pasal 7 ayat 8 yang semula berbunyi “Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah.

Namun pada halaman 610 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 7 ayat (8) diubah menjadi “Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.

Perubahan tersebut menghilangkan kata “menengah.” Mahkamah juga menemukan kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal yakni Pasal 6 UU 11/2020 yang mengacu pada Pasal 5 ayat 1 huruf a, sementara muatan materi Pasal 5 mengarah ke Pasal 4. Berdasarkan dari temuan tersebut, Mahkamah menyatakan ada cacat formil yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 UU 12/2011.

Dalam pertimbangan Mahkamah juga memerintahkan pembuat undang-undang untuk membentuk landasan hukum baku dengan metode omnibus law. Hal tersebut demi memenuhi amanat UU No. 12 tahun 2011 sesuai Pasal 22A UUD 1945.

Dampak yang timbul atas putusan MK tentang UU Cipta Kerja

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat menekankan, bila aturan pelaksana atau peraturan pemerintah (PP) dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja khususnya bagian pengupahan tak dicabut, maka akan berdampak negatif terhadap dunia ketenagakerjaan.

“Dampak luas dari peraturan pemerintah turunan UU Cipta Kerja tersebut adalah mempermudah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), peningkatan angka pengangguran, melemahnya daya beli, menurunnya angka konsumsi rumah tangga yang berujung pada penurunan perputaran ekonomi nasional dan mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Mirah melalui keterangan tertulis, Senin (29/11).

Ia juga mengingatkan pemerintah agar tidak menyakiti hati rakyat dengan berbagai kecerobohan dan pemaksaan peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945.

“Laksanakan amanah konstitusi UUD 1945, secara bertanggungjawab untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangan tunduk pada kepentingan pemodal yang hanya ingin mengambil keuntungan bagi kelompoknya sendiri,” kata dia.

Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Cipta Kerja, yang menyatakan bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, hari ini, puluhan ribu buruh melakukan aksi unjuk rasa menuntut pembatalan penetapan upah minimum yang bertentangan dengan perintah MK.

Dampak nyata dari putusan MK ialah, Para Buruh melakukan Aksi unjuk rasa dibeberapa wilayah di Indonesia, salah satunya yang dilakukan oleh Asosiasi Serikat Pekerja, Senin (29/11) di Kantor Balai Kota DKI Jakarta dan Gedung Sate Bandung, Jawa Barat.

“Kami meminta Gubernur Anies Baswedan dan Gubernur Ridwan Kamil, untuk taat pada Putusan MK dengan cara membatalkan penetapan upah minimum di Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, yang telah diterbitkan sebelum adanya Putusan MK,” tegas Mirah.

Mirah kembali menekankan, Mahkamah Konstitusi dengan tegas menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

“Artinya, penetapan upah minimum tahun 2022 yang menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, harus dibatalkan. Karena PP No. 36/2021 adalah peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja, serta bersifat strategis dan berdampak luas, sebagaimana yang dinyatakan oleh putusan MK,” kata dia.

(MIB/SEL)