Dengan kondisi saat ini yang serba digital, Hana juga mengaku sangat tertolong untuk proses penyembuhannya tersebut. Namun, dia sangat miris ketika memikirkan kondisi orang-orang di pedalaman yang harus berjuang dengan cara sendiri ketika teknologi digital belum mereka dapatkan untuk mencari literasi mengenai kesehatan mental.
Cara pasung. Cara yang akhirnya dipake di daerah pedalaman untuk “penyembuhan” menurut orang orang tertentu.
“Data pemasungan itu masih ada praktik di Indonesia. Sementara di UK sudah ditinggalkan berpuluh-puluhan tahun lalu. Bahkan kita masih melanggengkan praktik ini di derah terpencil, karena kurangnya mental health, kenapa tidak dibawa ke psikiater karena mereka belum familiar dengan apa itu psikiater. Maka ini jadi pekerjaan rumah kita bersama,” papar Hana.
Perempuan yang mengaku lahir dari keluarga santri itu kemudian telah memilih jalan hidupnya sendiri untuk menyembuhkan mentalnya dengan cara menyalurkan ke seni.
Namun, dia tidak sekonyong konyong mengajak para penyintas tersebut untuk mencontoh dirinya yang sempat terjerumus dalam dunia hitam dengan dalih mengalami depresi.
Di Indonesia, menurutnya, harus didorong sebuah upaya khusus mengkampanyekan kesehatan mental yang masih sedikit orang melek mengenai hal itu.
“Dengan kondisi pandemi ini kita harus banyak berpikir dan kreatif. Jangan malu tunjukkan identitas. Kalian berhak perlindungan dari stigma dan diskriminasi, kalian berhak bersuara dan kesempatan yang sama selagi kita berusaha dan konsisten,” pesannya.
(BI, STV, DAN)