JAKARTA, HOLOPIS.COM – Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz memberikan tanggapannya terhadap rencana pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang mencanangkan tahun 2021-2022 sebagai The Year of Apprenticeship alias Tahun Magang.
Menurut Riden, praktik pemagangan rawan disalahgunakan. Di mana peserta magang seringkali dipekerjakan sebagaimana pekerja pada umumnya. Tetapi dengan tingkat kesejahteraan yang ala kadarnya.
“Dalam ketentuannya, peserta pemagangan hanya mendapatkan uang saku. Tetapi tak jarang mereka dipekerjakan selayaknya pekerja. Mereka bekerja delapan jam sehari atau 40 jam seminggu, bahkan ada yang diwajibkan untuk ikut lembur,” kata Riden dalam keterangannya, Jumat (2/7).
Oleh karena itu, kata Riden, pihaknya menilai praktik pemagangan lebih buruk dari outsourcing. Buruh outsourcing masih berhak mendapatkan upah minimum dan jaminan sosial. Tetapi untuk pemagangan tidak ada istilah upah. Hanya mendapatkan uang saku yang besarnya suka-suka perusahaan.
Riden khawatir, dicanangkannya tahun pemagangan di tengah banyaknya buruh ter-PHK akibat pandemi ini akan memperburuk keadaan. Di mana posisi buruh yang ter-PHK akan digantikan dengan peserta magang.
“Perusahaan akan cenderung mempekerjakan peserta magang. Tidak lagi merekrut karyawan. Dalam pengamatan kami, pola-pola seperti ini sudah terjadi sejak tahun 2016 lalu Presiden Jokowi meresmikan gerakan pemagangan nasional,” tegasnya.
Oleh karena itu, Riden berharap Menteri Ketenagakerjaan bisa membatalkan tahun 2021-2022 sebagai the Year of Apprenticeship alias Tahun Magang. Sebab saat ini yang dibutukan adalah memastikan agar buruh-buruh yang masih bekerja tidak kehilangan pekerjaan akibat pandemi yang tak kunjung teratasi. Di samping, membuka lapangan pekerjaan baru.
“Taruh saja pemagangan dijalankan. Kalau tidak ada lapangan pekerjaan, mereka mau dikemanakan? Sedangkan saat ini saja banyak tenaga kerja terampil yang justru ter-PHK akibat perusahaannya tidak bisa bertahan akibat Covid-19,” kata Riden Hatam Aziz.
Persoalan mendasar yang sampai saat ini belum terselesaikan adalah lemahnya pengawasan. Sehingga setiap aturan perburuhan rentan terjadi pelanggaran.
“Hal-hal yang normatif saja banyak dilanggar, apalagi ini yang sifatnya seolah-olah dibenarkan oleh pemerintah,” tegasnya. (MIB)