JAKARTA, HOLOPIS.COM – Jelang hari raya, yang paling ditunggu oleh pekerja adalah THR (Tunjangan Hari Raya). Sepertinya THR, sudah menjadi sebuah tradisi di Indonesia.
Lalu, sebenarnya kapan THR itu muncul dan akhirnya menjadi sebuah momen yang identik dengan hari raya.
Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) menyebutkan, THR pertama kali muncul dari era Pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya era Perdana Menteri Keenam Indonesia, Soekiman Wirjosandjojo.
Saat itu, THR jadi sebuah program yang dijalankan untuk meningkatkan kesejahteraan para PNS yang dulunya dikenal dengan sebutan pamong pradja.
Aturan mengenai pembayaran upah tambahan menjelang hari raya tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raya kepada Pegawai Negeri pada era Kabinet Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Kedelapan Indonesia.
Menurut Pasal 6 PP 27/54 tersebut, tunjangan diberikan berbentuk Persekot atau Uang Muka yang kemudian dikembalikan melalui mekanisme angsuran dengan memotong gaji pegawai tiap bulannya selama enam kali. Dan apabila pegawai tersebut diberhentikan atau meninggal dunia, maka sisa persekot tadi ditagihkan ke ahli warisnya.
Pemberian THR saat itu, diberikan setiap akhir bulan Ramadan yaitu sebesar Rp125-Rp200 atau setara dengan nilai saat ini sekitar Rp 1,1 Juta -Rp 1,75 Juta. Bukan hanya itu, tunjangan berupa beras pun diberikan.
Sayangnya program itu, mendapat penolakan dari kaum buruh yang merasakan ketidak adilan. Akhirnya mereka melakukan aksi mogok kerja pada 13 Februari 1952, untuk menuntut keadilan dalam pemberian THR.
Aksi mogok kerja itu dilakukan, agar pemerintah saat itu juga bisa memberikan THR kepada kaum buruh. Sayangnya, tuntutan mereka tidak didengarkan.
Mengutip dari spkep-spsi.org, sepanjang periode 1951 hingga 1952 pemogokan tercatat sebanyak 541 hari, diikuti oleh 319.030 buruh. Pemerintah lantas mengeluarkan UU Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.