JAKARTA, HOLOPIS.COM – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, bahwa pemerintah telah mengajukan dua buah Rancangan Undang-Undang (RUU). Keduanya adalah terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
“Yaitu RUU tentang Perampasan Aset dalam Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal / Uang Tunai,” kata Mahfud MD dalam videonya yang dibagikan kepada wartawan, Selasa (14/12).
Ia menilai bahwa RUU tersebut bisa menjadi pendorong bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi untuk menyita seluruh aset yang dimiliki oleh terdakwa maupun terpidana korupsi yang tidak bisa mengembalikan hak-hak negara yang dirampasnya.
“Maksudnya, aset tindak pidana itu bisa segera dirampas kemudian orang berbelanja dengan jumlah tertentu harus lewat bank agar diketahui sumbernya dari mana dan dikirim kemana, tidak boleh langsung dari tangan ke tangan, misalnya sampai Rp100 juta,” jelasnya.
Kedua RUU tersebut kata Mahfud sudah diajukan ke DPR RI untuk dibahas. Namun, keduanya belum mendapatkan gayung bersambut dari lembaga legislatif tersebut.
“Itu yang diajukan kepada DPR agar bisa dijadikan UU. Kedua RUU tersebut DPR tahun 2021 tidak menjadi prioritas, artinya DPR tidak setuju,” terang Mahfud.
Pun demikian, lobi tetap dilakukan oleh pemerintah kepada DPR RI. Dan Mahfud mengaku sangat senang ketika salah satu anggota DPR RI memberikan angin segar bahwa RUU tersebut bisa diproses di DPR, namun sementara hanya satu dulu, yakni RUU tentang Perampasan Aset dalam Tindak Pidana.
“Dan saya agak optimis setelah saya mendengar dari salah seorang anggota DPR sahabat saya Arsul Sani, sebenarnya sih untuk UU Perampasan Aset itu lebih mudah, diajukan saja oleh Presiden nanti DPR akan segera membahasnya,” tandasnya.
Memang jika melihat konstruksinya, Mahfud melihat bahwa RUU tersebut lebih memungkinkan dan mudah digarap oleh DPR RI untuk dijadikan sebuah regulasi yang berlaku. Apalagi kata Mahfud, RUU serupa juga pernah dibahas dan hampir selesai. Hanya saja, ada satu poin yang belum disepakati, yakni tentang pengelolaan aset hasil rampasan dari pelaku tindak pidana tersebut.
“Karena dulu RUU ini sudah pernah disepakati hanya tinggal 1 butir, yaitu aset yang dirampas itu disimpan dan dikelola oleh siapa, pada waktu itu ada 3 (tiga) alternatif, di Rumah Barang Rampasan di Kemenkumham, atau di Kejaksaan Agung ada Badan Pengelola Aset untuk tindak pidana, dan Dirjen Kekayaan Negara,” paparnya.
Untuk tiga opsi ini, Mahfud mengaku bahwa pemerintah segera menemukan titik terang. Dan ia berharap besar agar pemerintah bisa sepakat terkait dengan lembaga yang dimaksud.
“Nah, sekarang sudah ada kesatuan pendapat di kalangan pemerintah,” pungkasnya.