JAKARTA – Munculnya Musyawarah Nasional (Munas) ke-22 Palang Merah Indonesia (PMI) tahun 2024 tandingan dinilai sebagai bentuk akumulasi dari kekecewaan. Penyebabnya lantaran tidak dibukanya ruang untuk menyampaikan aspirasi seluas-luasnya.
Demikian disampaikan Politisi senior Partai Golkar, Agung Laksono sekaligus menyoroti situasi pemilihan Ketua Umum PMI yang berlangsung dalam Munas. Diketahui, Sidang Pleno Kedua Musyawarah Nasional (Munas) ke-22 Palang Merah Indonesia (PMI) tahun 2024 yang digelar Minggu malam, 8 Desember 2024 di Jakarta, para peserta memutuskan menerima laporan pertanggungjawaban Ketua Umum PMI, Jusuf Kalla, dan secara aklamasi meminta JK kembali menjabat sebagai Ketua Umum PMI untuk periode 2024-2029.
Menurut Agung, proses pemilihan tersebut memicu kekecewaan dan gejolak akibat ketertutupan serta dugaan intimidasi terhadap dukungan dari daerah.
Agung menilai, ketidakbebasan dalam Munas PMI kali ini telah memicu munculnya Munas tandingan sebagai bentuk akumulasi dari kekecewaan.
“Terjadinya keadaan dan peristiwa ini akibat dari kekecewaan, kemarahan, dan kekesalan karena tidak dibukanya ruang untuk menyampaikan aspirasi seluas-luasnya,” ungkap Agung Laksono konferensi pers di Jakarta, seperti dikutip Holopis.com, Senin (9/12).
Agung Laksono yang juga merupakan Ketua Dewan Pengawas Komite Donor Darah Indonesia (KDDI) sebelumnya telah mendeklarasikan diri maju sebagai bakal calon Ketua Umum PMI pada Munas ke-22 PMI di Jakarta. Agung mengaku telah memenuhi syarat sebagai calon ketua umum yang diatur dalam Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PMI. Selain itu, Agung Laksono juga mengaku mendapat dukungan mayoritas sekitar 250 dukungan atau lebih dari 50 persen untuk menjadi Ketua Umum PMI dari para pengurus di daerah.
Agung lebih lanjut menanggapi pernyataan pihak lain yang menyebut Munas tandingan sebagai forum ilegal. Ditegaskan Agung, dukungan dari berbagai daerah yang hadir dalam Munas tandingan sudah memenuhi syarat minimal.
“Kami memiliki bukti dukungan dari lebih 20% peserta. Proses ini sah sesuai dengan ketentuan AD/ART PMI,” tegas Agung.
Dikatakan Agung, pihaknya telah mengumpulkan dukungan signifikan dari daerah-daerah sebelum Munas digelar. Agung justru menduga ada upaya sistematis untuk mempersempit ruang demokrasi.
“Data dukungan kami mencapai lebih dari 20%, tapi kemudian diklaim hanya 6%. Hal ini terjadi akibat intimidasi di berbagai wilayah terhadap pihak yang memberikan dukungan,” ucap Agung.
Agung juga menekankan pentingnya reformasi organisasi PMI, termasuk pembatasan masa jabatan ketua umum dan transparansi dalam pengelolaan aset. “Aturan lama tentang pembatasan dua periode harus dikembalikan. Ini demi menjaga marwah organisasi,” ucap dia.
Menurut Agung, pihaknya akan melaporkan persoalan itu ke Kementerian Hukum dan HAM. Upaya itu untuk mendapatkan penilaian objektif dari pihak berwenang.
“Kami menyerahkan semua proses ini kepada instansi terkait, termasuk Kemenkumham. Mereka yang akan menilai keberadaan Munas dan kepemimpinan yang sah,” kata Agung.
Disebutkan, situasi pemilihan Ketua Umum PMI kali ini menunjukkan perlunya transparansi dan demokrasi dalam pengelolaan organisasi kemanusiaan. Agung berharap adanya penyelesaian yang adil agar PMI dapat kembali fokus pada misi utamanya dalam membantu masyarakat.
Disisi lain, Agung memastikan polemik kepemimpinan tidak akan mengganggu program-program kemanusiaan yang dijalankan oleh PMI. Agung menekankan organisasi harus tetap fokus pada pelayanan masyarakat, terutama di tengah situasi bencana yang memerlukan respon cepat.
“Lebih dari 70 tahun PMI memiliki pengalaman menghadapi bencana. Program kemanusiaan tidak boleh terganggu oleh permasalahan ini,” tutur Agung.
Agung dalam kesempatan ini juga menanggapi pertanyaan soal rekonsiliasi. Agung menyatakan pihaknya membuka peluang untuk berdiskusi dengan pihak lain guna menyelesaikan polemik secara damai.
“Kami siap duduk bersama dalam suasana terbuka. Semua pihak harus diberikan kesempatan bicara dengan adil dan proporsional,” tandas Agung.