Holopis.com JAKARTA – Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK) Habib Syakur Ali Mahdi Al Hamid menganggap bahwa Hasto Kristiyanto sudah terlalu akut sikap anehnya. Salah satunya terbaru tentang sebutan adanya “Partai Cokelat” yang dinegasikan untuk menuding sebagai alat politik Joko Widodo terhadap calon kepala daerah yang berafiliasi dengan PDIP.

“Aku kira mental illness itu cuman dirasakan anak Gen Z ya, ternyata Baby Boomer juga mengalami. Ya Hasto itu contohnya,” kata Habib Syakur kepada Holopis.com, Selasa (26/11).

Bagi dia, apa yang disampaikan Hasto hanyalah bentuk kepanikan setelah beberapa calon kepala daerah yang diusung PDIP mendapatkan tingkat elektabilitas yang tidak begitu menggembirakan.

Sehingga diksi semacam itu dianggap Habib Syakur merasa perlu dilakukan Hasto untuk mencoba mencari isu yang seksi untuk dijual dalam kepentingan politik elektoral PDIP.

“Ya kan setiap penggiringan opini perlu isu ya. Nah, kebetulan PDIP sampai saat ini menganggap Jokowi adalah musuh politik mereka. Sementara kita lihat tren elektabilitas yang diusung PDIP kurang begitu menggembirakan,” ujarnya.

“Wajar aja sih Hasto bilang gitu. Ya itu tanda kepanikan saja, tapi juga kurang bagus lah buat pendidikan politik kita ya. Makanya saya bilang, kok dia jadi Sekjen Partai kok yo aneh gitu sih,” ujarnya.

Lebih lanjut, Habib Syakur mengatakan bahwa statemen Hasto tidak perlu dianggap serius, bahkan dicap lucu-lucuan saja. Apalagi diksi “Partai Cokelat” juga tidak bisa diterjemahkan secara eksplisit oleh Hasto Kristiyanto.

“Emang apa itu Patai Cokelat, ngomong dong Hasto, sebut aja apa brand-nya, jangan bersembunyi di balik diksi yang cuman picu representasi liar dari publik. Ini sih nggak jantan sebagai politisi senior sekelas kaki tangan Bu Mega,” ketusnya.

Ketimbang mendengarkan narasi Hasto, tokohb masyarakat asal Malang Raya ini berharap masyarakat fokus saja dengan pilihan masing-masing dalam Pilkada 2024. Sebab yang saat ini paling penting adalah memantabkan diri untuk memilih satu dari pasangan Kepala Daerah terbaik berdasarkan hati nurani mereka.

“Untuk apa dengarkan Hasto. Omongannya nggak ada yang bisa dijadikan dasar. Mending rakyat fokus memantabkan hati, oh saya mau pilih ini karena rekam jejak misalnya, karena kedekatan, atau karena aspek lain yang datang dari hati nurani masing-masing tanpa ada paksaan dari siapa pun dan dari mana pun,” tutur Habib Syakur.

Alasan mengapa ia sarankan untuk tidak mendengarkan narasi Hasto, sebab ada dua catatan penting terhadap sosok Sekjen DPP PDIP tersebut dalam narasi yang pernah dilempar. Pertama disampaikan Habib Syakur adalah soal tudingan persentase hasil Pilpres 2024 yang telah ditentukan oleh Istana.

“Iya lah, coba sampai detik ini, ada nggak pembuktian dari Hasto atau PDIP lah dalam kapasitas gerbong besarnya, membuktikan bahwa hasil Pilpres sudah ditentukan oleh Istana. Nggak ada, ini salah satu pembelajaran politik yang buruk dari mereka,” tandasnya.

Kedua kata Habib Syakur, adalah soal kriminalisasi Anies Baswedan yang sempat dilontarkan Hasto bersama Connie di podcast Akbar Faisal. Menurutnya, narasi Hasto lagi-lagi cuma angin lalu, sebab hal itu hanya asumsi belaka tanpa ada bukti yang bisa disajikan.