JAKARTA – Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja menyampaikan bahwa politik uang adalah aspek paling besar terjadi dalam sekian banyak pelanggaran pemilu di Pilkada 2024.
“Politik uang saat ini dari waktu ke waktu menjadi hal yang paling rawan,” kata Bagja di Jakarta, Selasa (19/11).
Oleh sebab itu, ia pun telah mewanti-wanti agar semua tim sukses, partai politik maupun pasangan calon tak ada yang melakukan pelanggaran money politic tersebut.
“Kami berharap dari semua tim kampanye, tim pasangan calon, untuk tidak melakukan ini,” ujarnya.
Di sisi lain, ia juga berharap semua komponen ikut mengedukasi masyarakat agar tidak meminta uang kepada para peserta pemilu, sebab hal itu merupakan larangan dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada, juga bisa mencederai nuansa demokrasi yang sesungguhnya.
“Masyarakat jangan ada yang meminta politik uang. Jadi ini menjadi persoalan tersendiri,” tuturnya.
Sebelumnya, Anggota Bawaslu RI yang juga menjabat Koordinator Bidang Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu RI, Lolly Suhenty menjelaskan tentang bentuk politik uang yang dilarang dalam pemilu.
Larangan politik uang tersebut sudah diatur di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016. Yakni dalam Pasal 73 yang memberikan larangan keras praktik politik uang.
“Calon dan atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan atau pemilih,” terang Lolly sesuai Pasal 73 ayat 1 UU Pilkada, Selasa (12/11).
Bahkan penjelasan tentang pasal tersebut diterapkan di ayat 4 Pasal 73 UU Pilkada. Bahwa larangan melakukan politik uang tidak hanya kepada Calon atau tim kampanye, tapi juga memenuhi unsur anggota partai politik, relawan dan juga pihak lainnya. Bahkan larangan itu juga baik dilakukan secara langsung maupun dengan cara tidak langsung.
Bagi pelanggar, maka akan dikenakan hukuman yang cukup berat. Mulai dari hukuman penjara hingga denda sampai Rp1 miliar.
Hukuman bagi pelanggar telah diatur di dalam Pasal 187A UU Pilkada.
“Sebagaimana dimaksud pada pasal 73 ayat 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar,” bunyi penggalan Pasal 187A ayat (1).
Ancaman serupa juga dialamatkan kepada penerima uang politik. Mereka bisa dijerat dengan penjara dan denda yang sama atas perbuatan melawan hukum itu. Hal ini tertera dalam Pasal 187A ayat (2).