JAKARTA – Aksi protes dari anggota parlemen Selandia Baru bernama Hana-Rawhiti saat ini sedang viral di media sosial. Hal tersebut karena anggota parlemen termuda keturunan suku Maori itu memprotes keras RUU yang dinilai bisa menindas hak-hak masyarakat Maori di Selandia Baru.
Awalnya, Hana lansgung teriak dan bernyanyi sembari merobek kertas yang diduga berisi undang-undang kontroversial tersebut. Kemudian ia langsung diikuti oleh anggota parlemen Maori lainnya.
Sebagai informasi, RUU yang menjadi kontroversi di Selandia Baru dinilai bisa melanggar Perjanjian Waitangi atau Treaty of Waitangi antara masyarakat Maori dan Kerajaan Inggris di Selandia Baru.
Apa itu Perjanjian Waitangi yang ditandangani 184 tahun yang lalu?
Penjelasan tentang Treaty of Waitangi (Perjanjian Waitangi)
Treaty of Waitangi, atau Perjanjian Waitangi, adalah salah satu dokumen paling penting dalam sejarah Aotearoa New Zealand (Selandia Baru). Ditandatangani pada 6 Februari 1840 di Waitangi, perjanjian ini antara Kerajaan Inggris dan suku-suku Māori di Selandia Baru memiliki dampak yang mendalam bagi hubungan antara kedua belah pihak dan bagi perkembangan sejarah serta politik negara tersebut.
Isi dan Perbedaan Versi Perjanjian
Treaty of Waitangi memiliki tiga artikel utama yang pada dasarnya berfokus pada tiga poin penting: hak kepemilikan tanah, hak kewarganegaraan untuk orang Māori, dan perlindungan terhadap budaya dan kebebasan mereka.
Namun, perjanjian ini memiliki dua versi yang berbeda. Salah satu versi ditulis dalam bahasa Inggris, dan yang lainnya dalam bahasa Māori. Perbedaan bahasa ini menjadi sumber banyak perdebatan tentang makna sebenarnya dari perjanjian tersebut, karena beberapa kata dalam bahasa Māori tidak memiliki padanan yang jelas dalam bahasa Inggris.
- Artikel Pertama (Sovereignty)
Dalam versi bahasa Inggris, artikel pertama mengakui kedaulatan Kerajaan Inggris atas Selandia Baru. Hal ini dimaksudkan untuk memberi Inggris kontrol politik penuh atas wilayah tersebut. Namun, dalam versi bahasa Māori, kata ‘kedaulatan’ diterjemahkan sebagai ‘kekuasaan’, yang lebih mengarah pada bentuk pengakuan atas pengaruh Inggris daripada pemerintahan langsung. - Artikel Kedua (Kepemilikan Tanah dan Perlindungan Hak)
Artikel kedua menjamin hak orang Māori untuk memiliki tanah dan harta benda mereka, dengan ketentuan bahwa tanah hanya dapat dijual kepada pemerintah Inggris. Dalam versi Māori, kata yang digunakan adalah ‘tangata whenua’ (kepemilikan atas tanah dan hak-hak adat), namun ada perbedaan dalam interpretasi apakah orang Māori dapat menjual tanah kepada siapa pun, atau hanya kepada pemerintah. - Artikel Ketiga (Hak Warga Negara)
Artikel ketiga memberikan hak kewarganegaraan penuh kepada orang Māori di bawah hukum Inggris, dengan tujuan agar mereka mendapatkan perlindungan yang sama dengan warga Inggris lainnya. Dalam versi Māori, kata “hak kewarganegaraan” menjadi kurang jelas dan sering diperdebatkan, mengingat perbedaan budaya dan sistem hukum yang ada.
Kontroversi Perjanjian
Setelah ditandatangani pada 6 Februari 1840, Perjanjian Waitangi dianggap sebagai dasar hubungan antara bangsa Māori dan pemerintah Inggris. Namun, penerimaan dan implementasi perjanjian ini tidak berjalan mulus. Beberapa suku Māori merasa bahwa mereka tidak sepenuhnya dipahami atau diwakili dalam proses perundingan, sementara beberapa pemimpin suku menandatangani dokumen tersebut sementara yang lain menolaknya.
Banyak konflik dan ketegangan yang muncul setelah penandatanganan perjanjian, terutama terkait dengan sengketa tanah, yang memicu pada pertengahan abad ke-19. Suku Māori merasa bahwa hak mereka atas tanah sering kali tidak dihormati atau bahkan dilanggar oleh pemerintah Inggris dan pemukim Eropa, yang menganggap tanah tersebut sebagai milik mereka.