HOLOPIS.COM, JAKARTA – Kasus dugaan korupsi impor gula di Kemendag periode 2015-2016 yang sedang diusut Kejaksaan Agung (Kejagung) disebut merugikan keuangan negara sekitar Rp 400 miliar.
Lantas siapa yang diuntungkan atas izin impor gula kristal mentah yang diterbitkan dan disetujui Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan (Mendag) saat itu?.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar menyebut delapan perusahaan swasta yang diuntungkan. Kedelapan perusahaan itu yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.
Kejagung menduga kerugian negara dan keuntungan pihak swasta itu akibat perbuatan rasuah sejumlah pihak, termasuk Tom Lembong dan mantan Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) berinisial CS.
Tom Lembong dan CS telah ditetapkan oleh Kejagung sebagai tersangka. Keduanya juga telah telah dijebloskan ke jeruji besi pada Selasa (29/10) malam.
“Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai Rp 400 miliar, yaitu nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara/BUMN (PT PPI),” ujar Abdul Qohar dalam keteranganya, seperti dikutip Holopis.com, Rabu (30/10).
Dijelaskan Abdul Qohar, Tom Lembong memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah kepada PT AP sebanyak 105.000 ton pada 2015. Padahal, Indonesia saat itu sedang surplus sehingga tidak membutuhkan impor. Selain itu, berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004 tentang Ketentuan Impor Gula, hanya perusahaan BUMN yang diperbolehkan untuk mengimpor gula kristal putih.
“Tetapi berdasarkan persetujuan impor yang dikeluarkan oleh tersangka TTL dilakukan oleh PT AP dan impor GKM (gula kristal mentah) tersebut tidak melalui rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri,” ucap Abdul Qohar.
Tom Lembong selain itu juga menugaskan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk memenuhi stok gula nasional dan stabilisasi harga gula, melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah gula kristal mentah impor menjadi gula kristal putih sebanyak 300.000 ton.
Sementara itu, tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI saat itu sebelumnya telah memerintahkan anak buahnya untuk bertemu delapan perusahaan, yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI. Pertemuan yang digelar sebanyak empat kali di Gedung Equity Tower SCBD itu membahas mengenai kerja sama impor gula kristal mentah menjadi gula kristal putih.
Lalu, kedelapan perusahaan ditambah satu perusahaan lain PT KTM membuat kerja sama dengan PT PPI untuk importasi gula. Atas sepengetahuan dan persetujuan tersangka Tom Lembong, sambung Abdul Qohar, persetujuan impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta.
“Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung. Selain itu, persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan diterbitkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait,” kata Abdul Qohar.
Setelah gula kristal mentah itu diimpor, kedelapan perusahaan mengolahnya menjadi gula kristal putih. Irioninya, PT PPI justru selanjutnya seolah-olah membeli gula tersebut.
“Padahal gula itu sudah dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kg atau lebih tinggi dari harga eceran tertinggi saat itu, Rp 13.000/kg, dan tidak dilakukan melalui operasi pasar,” ungkap Abdul Qohar.
Nah dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah GKM sebesar Rp 105/kg. Alhasil, kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut sekira Rp 400 miliar. Di mana angka tersebut merupakan nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara atau BUMN dalam hal ini adalah PT PPI.
“Para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” tandas Abdul Qohar.