HOLOPIS.COM, JAKARTA – KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akan menindaklanjuti dugaan rasuah terkait pemotongan honorarium Hakim Agung mencapai Rp 90 miliar di lingkungan MA. Dugaan yang dilaporkan Indonesia Police Watch (IPW) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) itu saat ini sedang ditelaah lembaga antirasuah.
“Sampai saat ini laporan dari IPW dan TPDI tersebut masih dalam proses telaah di Direktorat PLPM (Penerimaan Layanan Pengaduan Masyarakat),” ucap
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (11/10).
KPK berjanji bakal memproses dan menindaklanjuti laporan tersebut. Pihak-pihak yang diduga mengetahui atau terlibat dugaan korupsi pemotongan honorarium Hakim Agung dan atau gratifikasi atau TPPU pada Mahkamah Agung RI dalam Tahun Anggaran 2022-2023-2024 akan dipanggil.
“Karena belum masuk penyidikan. Jadi belum bisa diinformasikan. Jadi tunggu saja,” tutur Asep.
Terpisah, Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie berharap pemilihan Ketua MA yang tak lama lagi akan digelar dapat menghasilkan calon yang bersih dan berintegritas. Hal itu untuk menjaga marwah lembaga Mahkamah Agung.
Diketahui, Ketua MA M Syarifuddin akan memasuki masa pensiun bulan ini. MA akan menggelar pemilihan Ketua baru sebelum 17 Oktober 2024.
“Sikap Presiden terpilih Prabowo Subianto sudah jelas, ingin pengadilan kita bersih. Tidak ingin ada hakim yang mudah disogok,” ucap Jerry Massie dalam keterangannya.
Jerry berharap para hakim agung yang akan menggunakan hak pilihnya agar mencegah terpilihnya calon yang diduga terlibat praktik rasuah. Pun termasuk diduga terlibat dugaan rasuah terkait pemotongan honorarium Hakim Agung.
“Untuk itu kehidupan hakim di Indonesia harus disejahterakan yang selama ini diabaikan,” ujar Jerry.
Indonesia Police Watch (IPW) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) sebelumnya melaporkan dugaan korupsi di Mahkamah Agung (MA) ke KPK, Rabu (2/10). Dugaan yang dilaporkan terkait pemotongan honorarium Hakim Agung mencapai Rp 90 miliar di lingkungan MA.
“Kami melaporkan dugaan tindak pidana korupsi pemotongan honor penanganan perkara yang menjadi hak Hakim Agung berdasarkan PP 82/2021, Hakim Agung berhak mendapatkan honor penanganan perkara yang bisa diputus dalam 90 hari,” kata Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso usai pelaporan, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Menurut Sugeng, para Hakim Agung pada kenyataannya hanya mendapatkan sekitar 60 persen dari haknya. Sementara sisanya, 14,05 persen diberikan kepada panitera perkara, panitera muda kamar, hingga staf. Sedangkan 25,95 persen sisanya tidak jelas peruntukannya.
“Peristiwa dugaan korupsi yang bernilai puluhan miliar yang diduga dilakukan para petinggi Mahkamah Agung ini ini paradoks dengan penderitaan yang dialami oleh hakim di seluruh daerah yang pekan depan bakal melakukan mogok kerja” ujar Sugeng.
Dalam pelaporannya, kata Sugeng, pihaknya telah menyerahkan sejumlah temuan terkait dugaan rasuah itu ke KPK. Baik IPW dan TPDI mendesak KPK untuk menidaklanjuti dan mengusutnya.
“Itu kami dapatkan buktinya melalui surat internal dari internal Mahkamah Agung, kami sudah serahkan kepada KPK. Kami minta hal ini didalami. Apakah dalam pemotongan ini ada dugaan tindak pidana korupsi,” ucap Sugeng.
Selain itu, sambung Sugeng, pihaknya juga telah menyebutkan nama-nama yang diduga sebagai pelaku. Namun, sambung Sugeng, saat ini belum dapat diungkapkan ke publik.
“Dalam pelaporan kita kami menyampaikan informasi, ada, tapi kami tidak bisa sampaikan kepada media, karena itu sifatnya kewenangan KPK,” tutur Sugeng.
Disisi lain, Sugeng juga menyoroti soal pengakuan Juru Bicara MA, Hakim Agung Suharto yang menyatakan pemotongan tersebut berdasarkan kesepakatan para Hakim Agung. Sugeng menilai, honor dapat dikurangi atas kesukarelaan dan pasti jumlahnya berbeda-beda setiap Hakim Agung.
“Kalau kita memberikan sesuatu kepada pihak lain itu kan sebagai sedekah ya, ini kan terserah kita. Kalau ini rata-rata, 25,95 persen ya. Apakah di sana ada unsur penggunaan kewenangan dari pejabat yang berwenang meminta sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dan juga bertentangan dengan peraturan, silakan KPK mendalami,” ungkap dia.
Dikatakan Sugeng, pihaknya mencatat pemotongan honor Hakim Agung itu selama 2 tahun terakhir ini mencapai Rp 90 miliar. “Kalau kami hitung kasar, hitungan kasar dua tahun ya, itu sekitar Rp 90 miliaran ya total keseluruhan pemotongan,” kata Sugeng.
Sementara itu, Koordinator TPDI, Petrus Selestinus dalam kesempatan yang sama menyebut konstruksi dugaan rasuah Honorarium Penanganan Perkara (HPP) tak jauh berbeda dengan dugaan perkara korupsi pemotongan dana hasil insentif pajak untuk pegawai Kabuoaten Sidoarjo, Jawa Timur. Sebab itu, tegas Petrus, KPK harus segera mengusut dugaan rasuah tersebut.
“Judicial corruption yang terjadi bukan lantaran kebutuhan melainkan dikualifikasi corruption by greed atau korupsi karena keserakahan. Sehingga KPK harus segera mengusut kasus ini” ucap Petrus.