HOLOPIS.COM, JAKARTA – Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama dengan Partai Buruh bakal menggelar aksi unjuk rasa di dua lokasi, yakni Istana Negara Jakarta dan DPR RI besok. Aksi tersebut merupakan dari peringatan Hari Tani Nasional (HTN) yang ke-64.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menilai bahwa reforma agraria selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah banyak dimanipulasi, di mana banyak terjadi pelaksanaan reforma agraria yang justru memperlebar ketimpangan dan inkonstitusional.

“UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) tidak dijadikan sebagai rujukan dari kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Demikian juga UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,” kata Henry Saragih dalam konferensi persnya di kantor Sekretariat Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP-SPI), Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Senin (23/9) seperti dikutip Holopis.com.

“Sebaliknya pemerintah mengeluarkan UU yang bertentangan melalui UU Cipta kerja (Omnibus Law) yang isinya bukan saja semakin mengeksploitasi pekerja tapi juga petani, dan rakyat,” sambungnya.

Menurut Henry, reforma agraria selama satu dekade ini justru diarahkan hanya melegalisasi penguasaan kepemilikan tanah yang sudah timpang melalui proyek sertifikasi tanah, dan menjadi jalan korporasi-korporasi besar menguasai tanah dengan atas nama proyek strategis nasional (PSN), serta atas nama perubahan iklim jutaan hektar tanah rakyat dijadikan hutan konservasi dan restorasi sebagai komoditas perdagangan karbon.

Henry juga menyampaikan bahwa ini konflik agraria semakin meningkat, karena perampasan tanah rakyat semakin meluas, dan konflik agraria yang sudah ada selama ini tidak ada penyelesaian yang luas dan komprehensif.

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI dan Kantor Staf Kepresidenan RI, terdapat 1.385 kasus pengaduan masyarakat terkait konflik agraria selama tujuh tahun terakhir (2016-2023). Dari angka tersebut, 70 lokasi telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).

Sampai dengan Februari 2024, capaian redistribusi tanah dan penyelesaian konflik pada LPRA baru sebanyak 24 LPRA (14.968 bidang/5.133 Ha untuk 11.017 KK). Jadi masih ada 46 LPRA yang belum selesai dan 1.361 lokasi aduan konflik agraria yang mangkrak.

Henry juga menyatakan, bahwa jumlah petani gurem dan rakyat yang tak bertanah semakin meningkat selama 10 tahun terakhir ini. Sementara tanah pertanian (sawah) dan hutan-hutan dikonvensi untuk tanaman ekspor. Sementara komoditas pangan nasional rerata diambil dari jalur impor sepanjang kepemimpinan Jokowi.

“Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare mengalami lonjakan dalam satu dekade terakhir, dari 14,24 juta pada tahun 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada tahun 2023” tutur Henry.

Dalam kesempatan yang sama, Partai Buruh memberikan pandangan bahwa seharusnya reforma agraria diarahkan pada upaya merombak pada struktur penguasaan agraria yang timpang.