Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menyampaikan, bahwa suku bunga acuan BI (BI 7 Days Repo Rate/BI7DRR) seharusnya sudah bisa turun, seiring dengan tingkat inflasi di Indonesia yang kini sudah mulai melandai.

Dimana diketahui, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) disebabkan oleh inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah (administered price), yang tercatat sebesar 1,47 persen secara tahunan atau yoy. Namun pada saat yang sama, kelompok volatile food mengalami deflasi sebesar 3,63 persen yoy. Sedangkan inflasi inti di angka 1,95 persen yoy.

“Secara agregat ya. Kalau inflasi intinya masih di bawah 2,5 persen, itu berarti memang masih terkendali rendah. Tapi ini juga, inflasi inti ada gerakan naik, berarti permintaan naik. Tapi kapasitas produksi nasional masih mencukupi, memenuhi,” kata Perry dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala KSSK di Jakarta, seperti dikutip Holopis.com, Jumat (2/8).

“Oleh karena itu, karena inflasi inti rendah dan kemungkinan ke depan juga rendah, mestinya BI rate itu turun,” tambahnya.

Dengan kondisi ini, tingkat inflasi Indonesia pada tahun 2024 hingga tahun depan diperkirakan masih berada dalam target yang telah ditetapkan oleh BI, yaitu di kisaran 1,5 hingga 3,5 persen.

Namun, dengan inflasi rendah ini, BI tetap menahan suku bunga acuan di level 6,25 persen, setelah dikerek pada April 2024. Hal ini, menurut Perry, sebagai langkah BI untuk menjaga perekonomian nasional dari ketidakpastian yang masih menyelimuti perekonomian dunia.

“Sehingga kami kemarin di dalam konferensi pers ada beberapa kawan tanya, apa gerakan kesana? Iya, tapi memang kami harus memastikan risiko globalnya terkendali dulu,” ujarnya.

“Nah, untuk memitigasi risiko global, kami kemarin fokus kepada foreign exchange intervensi. Intervensi di spot maupun di valas. Dan jumlah cadangan devisa kami cukup,” jelas Perry.

Untuk mewaspadai risiko ketidakpastian ekonomi global, BI tidak bisa hanya mengandalkan intervensi valas, melainkan juga melalui penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Terbitnya surat utang BI membuat pemerintah tidak perlu menerbitkan surat utang (surat berharga negara/SBN) lebih tinggi dari yang telah dirilis sampai saat ini.

“Karena belum perlu sehingga kenapa kami koordinasi untuk ini, SRBI-nya kami dorong supaya membantu stabilitas nilai tukar. Sehingga kenapa suku bunga SRBI-nya tadi lebih tinggi dari SBN? Karena memang US Treasury Note 2 tahun, lebih tinggi dari yang Bond. Dan juga untuk menghindari tadi tekanan nilai tukar,” jelas Perry.