HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pakar komunikasi dari Universitas Airlangga, Prof Henry Subiakto tiba-tiba menyebut bahwa layanan internet Starlink di Indonesia sangat berbahaya. Bahkan salah satu dampak buruk yang nyata adalah membuat provider internet di Indonesia terancam guling tikar, tak terkecuali provider plat merah.
“Saya tidak setuju Starlink diijinkan beroperasi di Indonesia. Starlink tak hanya berpotensi membangkrutkan perusahaan nasional di bidang telekomunikasi dan internet service provider, seperti group Telkom, Indosat dll, tapi Starlink juga bisa dimanfaatkan kekuatan sparatisme seperti KKB/OPM dll, untuk komunikasi mereka tanpa terdeteksi negara atau pemerintah Indonesia,” kata Prof Henry dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Senin (20/5).
Dengan kata lain, ia menyatakan secara jelas bahwa Starlink bisa berbahaya bagi kedaulatan Negara Indonesia.
“Starlink berpotensi akan mengoyak NKRI,” ujarnya.
Argumentasi Prof Henry tentang bahaya Starlink di Indonesia
Kemudian, Prof Henry menerangkan bahwa Starlink sebenarnya lebih banyak digunakan oleh negara-negara yang memiliki satelit saja, atau sekurang-kurangnya para pendukung Amerika Serikat.
“Kenapa demikian? Karena Satelit Starlink memiliki perbedaan signifikan dibandingkan satelit biasa seperti Palapa, Satria, Pacific, Telkom 1 dan satelit-satelit lain milik Eropa maupun AS di luar Starlink,” jelasnya.
Lantas, Prof Henry pun memberikan perbedaan layanan Starlink dengan layanan provider internet konvensional. Di mana Starlink merupakan salah satu layanan internet berbasis satelit Low Earth Orbit (LEO), di mana ia beroperasi dengan ketinggian sekitar 340 hingga 1.200 km di atas permukaan bumi.
Starlink ukurannya kecil jumlahnya ribuan dirancang bekerja bersama secara sinkron menyediakan layanan internet. Menurut Henry, mereka sebenarnya seolah seperti BTS (Base Transceiver Station) terbang.
Sedang Satelit komunikasi konvensional ditempatkan di orbit geostasioner (GEO) sekitar 35.786 km di atas khatulistiwa bumi, berada di satu titik relatif tetap dari permukaan bumi. Sehingga dengan demikian, untuk bisa melayani publik maka ia butuh perangkat stasiun bumi.
“Setiap satelit Starlink beratnya sekitar 260 kg. Satelit GEO lebih besar dan mahal karena teknologi dan perlengkapan lebih kompleks, dengan kebutuhan bertahan di orbit yang lebih tinggi,” papar Henry.
Tidak sampai di situ, Prof Henry juga menerangkan bahwa Starlink menggunakan teknologi phased-array untuk antena mereka yang memungkinkan satelit mengarahkan sinyal tanpa harus memindahkan satelit itu sendiri. Sistem ini dirancang untuk latency rendah dan dengan kecepatan tinggi. Oleh karena itu, alat penangkap sinyal satelit hanya menggunakan antena kecil dan alat seukuran laptop besar yang bisa dipindah-pindahkan.
Sedang Satelit GEO harus pakai antena besar yang tetap untuk komunikasi berkapasitas tinggi. Karena itu satelit konvensional butuh mitra untuk mendistribusikan layanannya ke masyarakat. Itulah perusahaan operator seluler dan ISP yang menjadi mitranya.
“Beda dengan Starlink yang tidak butuh mitra. Mereka bisa melayani langsung ke publik tanpa pihak ketiga. Maka masuknya Starlink bisa jadi awal kematian perusahaan-perusahaan nasional di bidang internet, seluler dan juga satelit,” jelasnya.
Baca selengkapnya di halaman kedua.