HOLOPIS.COM, JAKARTA – BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) mengungkapkan bahwa fenomena seks di luar nikah saat ini semakin masif terjadi di Indonesia.

Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi BKKBN, Sukaryo Teguh Santoso mengatakan, fenomena ini berbanding terbalik ketika angka pernikahan di Indonesia di tahun 2023 tercatat paling rendah selama 10 tahun terakhir yakni sebanyak 1,5 juta pasangan.

“Yang dicatat kan yang menikah, tetapi yang menikah apakah ekuivalen (sebanding) dengan yang melakukan hubungan seksual di luar nikah?” kata Sukaryo dalam keterangannya pada Selasa (12/3) seperti dikutip Holopis.com.

Fenomena seks di luar nikah ini pun kemudian menjadi momok ketika jumlahnya yang kian signifikan terjadi sehingga berisiko pada berbagai faktor termasuk kesehatan medis.

“Kalau hubungan seksual, enggak menikah tetapi sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah, ini yang perlu dicegah betul dan diwaspadai, karena berisiko secara medis, psikologis, serta sosial,” tukasnya.

Dari data yang dimiliki BKKBN, di mana kelahiran menurut umur atau age specific fertility rate (ASFR) 10-15 tahun sudah mulai muncul angkanya belakangan ini.

“Padahal, lima atau 10 tahun lalu tidak ada angka tersebut, artinya, hubungan seksual di luar nikah ada kecenderungan dilakukan lebih awal,” ucapnya.

Sukaryo kemudian menyinggung terkait angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR) di Indonesia, dimana berdasarkan sensus penduduk tahun 2020, angkanya berada di posisi 2,18.

“Capaian ini merupakan fenomena positif karena rata-rata nasional wanita Indonesia melahirkan 2,1 anak. Ini menunjukkan sebuah keberhasilan dalam mengurus keluarga melalui program keluarga berencana (KB),” tuturnya.

Namun, untuk beberapa wilayah sendiri seperti Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), nilai TFR-nya masih tinggi, mencapai 2,79. Padahal, di DKI Jakarta yang masih menjadi pusat kegiatan tercatat memiliki TFR terendah sebesar 1,75.

“Bagi daerah yang TFR-nya sudah rendah di bawah 2, tidak perlu diturunkan lagi, sebab reproduksi tetap penting, sementara provinsi yang TFR-nya tinggi harus diturunkan, karena berhubungan dengan kualitas kesehatan ibu dan anak, tingkat kesejahteraan keluarga, dan masalah stunting,” tutupnya.