HOLOPIS.COM, JAKARTA – Indonesia saat ini tengah memasuki tahun politik dan musim kampanye untuk Pemilu 2024, khususnya Pilpres dan Pileg yang akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 14 Februari 2024 mendatang.
Setiap pasangan capres-cawapres serta caleg sedang sibuk mempromosikan diri dan program kerja serta gagasan masing-masing sehingga masyarakat mau memilih mereka dan mencoblosnya di dalam bilik suara nanti.
Memang setiap peserta memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, akan tetapi sebagai rakyat yang sudah memiliki hak pilih, sebaiknya digunakan untuk memberikan suara kepada sosok capres-cawapres dan caleg yang dianggap jauh lebih baik dari pesaingnya.
Dalam konteks sistem demokrasi, partisipasi aktif warga negara dalam pemilihan pemimpin merupakan pondasi utama. Bahkan di dalam ajaran agama seperti Islam dan Kristen, kewajiban memilih pemimpin dianggap sebagai tanggung jawab moral yang mendalam, mencerminkan nilai-nilai spiritual dan etika yang diperintahkan oleh masing-masing agama.
Sebagai warga negara yang baik dan umat Islam yang baik, ada perintah untuk ikut memilih pemimpin sesuai dengan syariat Islam.
Dalam Islam, kewajiban memilih pemimpin tercermin dalam prinsip-prinsip syura, yang merupakan sistem pemerintahan berbasis musyawarah. Al-Qur’an menekankan pentingnya musyawarah dalam mengambil keputusan, sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Imran (3:159):
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩
“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal”.
Dalil ini menunjukkan bahwa pemimpin harus terpilih melalui musyawarah, yang pada konteks modern dapat diwujudkan melalui pemilihan umum.
Bahkan Rasulullah SAW juga menegaskan pentingnya partisipasi aktif dalam pemilihan pemimpin dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim,
“Barang siapa yang meninggalkan musyawarah, ia tinggalkan kewajiban, dan barang siapa yang tinggalkan kewajiban, ia berada dalam kebinasaan.”
Tidak hanya Islam saja, bahkan agama Kristen juga mengajarkan kepada para pengikutnya untuk ikut terlibat dalam memimpih pemimpin.
Dalam ajaran Kristen, tanggung jawab memilih pemimpin diakui sebagai bagian dari panggilan untuk menjalankan keadilan dan kasih.
Kitab Suci menunjukkan dukungan terhadap otoritas dan kepemimpinan yang bijak. Roma 13:1 menyatakan, “Setiap orang harus tunduk kepada pemerintah yang di atasnya. Karena tidak ada pemerintahan melainkan berasal dari Allah, dan yang ada telah ditetapkan oleh Allah.”
Bagi umat Kristen, pemilihan pemimpin yang adil dan bijak adalah bentuk pemenuhan panggilan untuk berkontribusi dalam membangun masyarakat yang baik dan harmonis. Selain itu, Yesus Kristus sendiri menekankan prinsip kasih dan pelayanan, yang seharusnya menjadi landasan bagi setiap pemimpin. Pemilihan pemimpin yang mencerminkan nilai-nilai ini dianggap sebagai pemenuhan panggilan iman Kristen.
Dengan demikian, di dalam kedua ajaran agama ini, memilih pemimpin adalah cara untuk berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, kewajiban memilih pemimpin dalam sistem demokrasi tidak hanya menjadi tanggung jawab sosial, tetapi juga bagian integral dari praktik keagamaan yang mencerminkan nilai-nilai luhur agama Islam dan Kristen.
Dengan demikian, setiap warga negara, terlepas dari latar belakang agamanya, diharapkan untuk meresapi dan menerapkan ajaran ini dalam konteks pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi.