HOLOPIS.COM, JAKARTA – Firli Bahuri menanggapi pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang mengaku mengalami tekanan saat penanganan kasus korupsi e-KTP.
Usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di Bareskrim Polri pada Jumat (1/12), Firli mengingatkan Agus Rahardjo bahwa posisi pimpinan KPK memang sudah sewajarnya rentan mendapat intervensi.
“Ya kita menyadari bahwa saya kira setiap pimpinan menghadapi segala tantangan, hambatan, bahkan juga bisa jadi intervensi maupun tekanan,” kata Firli dalam pernyataannya yang dikutip Holopis.com, Sabtu (2/12).
Tersangka kasus pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo itu pun mengatakan, untuk menjadi pimpinan KPK harus mempunyai kepribadian yang berani. Firli juga berani berbicara bahwa rakyat memberikan harapan pemberantasan korupsi, melalui pimpinan KPK dengan kondisinya saat ini.
“Karenanya jangan pernah menjadi pimpinan KPK kalau tidak berani untuk diintervensi, tidak berani untuk melawan tekanan, karena sesungguhnya keselamatan kita semua memang ada di pundak pimpinan KPK untuk bersihkan negeri ini dari praktik korupsi,” ujarnya.
Tak hanya itu, Firli mengingatkan seharusnya kala itu Agus Rahardjo sudah memahami konsekuensi sebagai pimpinan dan bukan baru berbicara pada saat ini.
“Saya kira semua semua orang akan alami tekanan intervensi dan lain lain. Tinggal kita milih apakah berani untuk melawan tekanan atau tidak,” tuturnya.
Firli kemudian menyiratkan dengan kondisi yang dialaminya adalah konsekuensi sebagai pimpinan KPK.
“Rekan-rekan pasti melihat kenapa akhir-akhir ini terjadi, mungkin juga ada tekanan atau lain-lainnya,” pungkasnya.
Sebelumnya, Agus Rahardjo menyebut pernah dipanggil Presiden sendirian ke Istana Negara. Di sana kata Agus, Presiden Joko Widodo ditemani oleh Menteri Sekretariat Negara yakni Pratikno.
“Saya dipanggil sendirian oleh Presiden, presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno,” kata Agus.
Dalam statemennya, Agus menyampaikan Jokowi langsung membentak dirinya persis saat masuk ke dalam ruangan.
“Begitu saya masuk, Presiden sudah marah, menginginkan hentikan kasus Pak Setnov, ketua DPR waktu itu dalam kasus e-KTP supaya tidak diteruskan,” ucapnya.
Karena dirinya tidak menggubris permintaan Presiden pada waktu itu, Agus menyebut tiba-tiba muncul revisi UU KPK yang di dalamnya ada perintah penghentian penyidikan atau SP3.
“Karena KPK tidak punya SP3, tidak mungkin (sprindik) saya berhentikan, saya batalkan,” terangnya.
“Makanya saya nggak saya perhatikan, saya jalan terus. Tapi akhirnya kan dilakukan revisi UU. Intinya revisi UU itu kan SP3 menjadi ada, kemudian (KPK) di bawah Presiden. Apa pada waktu itu Presiden merasa bahwa ini Ketua KPK dibentak Presiden kok nggak mau,” imbuhnya.