Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Konsultan Hematologi-Onkologi, Prof Zubairi Djoerban menyampaikan tentang polemik adanya nyamuk Bill Gates yang diperdebatkan banyak kalangan. Ia menjelaskan apa sebenarnya nyamuk Bill Gates tersebut.

“Ada yang menghebohkan dengan adanya kabar penyebaran nyamuk Bill Gates. Menimbulkan pro dan kontra masyarakat. Apa sebenarnya nyamuk Bill Gates ini?,” kata Prof Zubairi dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Holopis.com, Jumat (17/11).

Ia menjelaskan bahwa nyamuk Bill Gates memiliki nama Wolbachia. Sebuah nyamuk yang menjadi bagian dari proyek yang dikembangkan oleh Monash University, Australia.

“Nyamuk Bill Gates ini bernama Wolbachia. Suatu proyek yang dikembangkan oleh World Mosquito Program (WMP) yaitu perusahaan milik Monash University,” ujarnya.

Lantas mengapa Wolbachia dikenal sebagai nyamuk Bill Gates, karena proyek WMP tersebut mendapatkan suntikan pendanaan dari pendiri Microsoft, yakni William Henry Gates III alias Bill Gates dan istrinya, yakni Melinda Gates melalui yayasan mereka.

“Mungkin karena proyek ini mendapatkan dukungan dari Bill & Melinda Gates Foundation, maka banyak dikenal sebagai nyamuk Bill Gates,” terangnya.

Lebih lanjut, Prof Zubairi yang juga peneliti bidang kesehatan tersebut mengatakan bahwa proyek ini tidak berbahaya seperti yang diperbincangkan banyak kalangan. Justru kata dia, proyek nyamuk Wolbachia adalah sebuah proyek bidang medis untuk menurunkan angka demam berdarah hingga chikungunya.

“Tujuan dikembangkannya proyek ini adalah untuk menurunkan penyebaran Demam Berdarah (DBD), demam kuning, dan chikungunya. Bakteri Wolbachia ini dapat melumpuhkan virus dengeu yang terkandung dalam nyamuk aedes aegypti,” papar Zubairi.

Pada dasar konsepnya, keberadaan Wolbachia adalah vaksinasi terhadap nyamuk yang ditujukan untuk mengurangi jumlah spesies nyamuk yang ditargetkan, yakni nyamuk yang menjadi perantara tiga penyakit itu pada manusia di dunia.

“Gampangnya, ini seperti vaksin, tapi yang divaksin itu nyamuknya agar tidak menyebarkan virus ke manusia. Selain itu, nyamuk hanya akan bekerja untuk mengurangi jumlah spesies nyamuk sasaran,” tuturnya.

Sejauh ini kata Pro Zubairi, proyek ini sudah berhasil melakukan tugasnya dengan baik di beberapa bagian Brazil, kepulauan Cayman, Panama, India,
dan Singapura.

Sementara di Indonesia, ia menyebut bahwa nyamuk Wolbachia sudah disebar, tepatnya di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan faktanya, peneliti di UGM pun terkejut dengan pencapaian dari proyek WMP tersebut.

“Setelah diteliti oleh UGM, hasilnya mengejutkan, kasus DBD pada daerah yang diteliti mengalami penurunan sampai 77%. Begitupun dengan presentase pasien yang dirawat di RS. Turun sampai 86%,” jelasnya.

Untuk selanjutnya, proyek ini akan dilanjutkan di kawasan Pulau Dewata Bali. Bahkan kata Prof Zubairi, pemerintah setempat sudah memberikan izin untuk pelaksanaan proyek nyamuk Wolbachia di sana.

“Tahun ini, giliran Bali menjadi tempat penyebaran selanjutnya. Namun Pj Gubernur Bali sepakat melakukan penundaan karena ada masyarakat yang belum setuju,” lanjut dia.

Pun demikian, Prof Zubairi mengaku ada persoalan yang masih cukup rumit di balik proyek ini, yakni bagaimana menjelaskan dan meyakinkan kepada masyarakat bahwa proyek ini tidak semenakutkan seperti yang diperbincangkan banyak kalangan.

“Memang di balik manfaatnya, masih terdapat kontra yang juga populer di masyarakat. Seperti kemungkinan adanya mutasi yang bisa mengarah pada sifat ganas dan sudah ada metode pembasmian nyamuk untuk melindungi manusia. Jadi masyarakat kontra menganggap tidak perlu adanya penyebaran nyamuk Wolbachia,” papar Prof Zubairi.

Hanya saja ia bisa menekankan bahwa nyamuk Wolbachia adalah sebuah nyamuk transgenik yang tidak memiliki dampak buruk kepada manusia bahkan lingkungan. Sehingga proyek ini cenderung lebih aman setidaknya menurut studi dan penelitian dari EPA, sebuah regulator yang memberikan izin penggunaan nyamuk transgenik di seluruh dunia.

“Environmental Protection Agency (EPA) sendiri menyatakan kalau nyamuk transgenik atau Wolbachia ini tidak menimbulkan risiko bagi manusia, hewan, atau lingkungan,” tukasnya.

Sementara sebagai penguat argumentasi ilmiahnya itu, Prof Zubairi menerangkan bahwa penyebaran nyamuk itu dilakukan terhadap jenis pejantan saja, sehingga tidak akan menggigit manusia.

“Hanya nyamuk transgenik jantan yang dilepaskan karena tidak akan menggigit manusia. Sehingga tidak membahayakan dan tidak ikut menyebarkan virus Zika serta patogen lainnya,” sambung Prof Zubairi.

Walau demikian, ia tetap memahami bagaiman pro dan kontra terhadap ilmu pengetahuan akan tetap ada. Sehingga diskusi terbuka pun patut dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada publik terhadap kemajuan teknologi, termasuk di bidang kesehatan.

“Begitulah ilmu pengetahuan, terus berkembang dengan berbagai pro dan kontranya. Suatu hal yang baru memang akan selalu menimbulkan diskusi,” pungkasnya.