HOLOPIS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap latar belakang terjadinya perbuatan dugaan suap untuk mengondisikan temuan pemeriksaan BPK di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.

Dugaan rasuah itu berangkat dari temuan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas laporan keuangan di Provinsi Papua Barat Daya khususnya di Kabupaten Sorong yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.

“Dari hasil temuan pemeriksaan PDTT di Provinsi Papua Barat Daya khususnya di Kabupaten Sorong diperoleh adanya beberapa laporan keuangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ungkap Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers, di Gedung KPK, Jakarta, seperti dikutip Holopis.com Selasa (14/11).

Dikatakan Firli, BPK RI berdasarkan kewenangan dalam Undang-Undang yang diantaranya berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan laporan keuangan diseluruh Pemerintah Daerah dan salah satunya di Provinsi baru yaitu Papua Barat Daya.

Sebagai tindak lanjutnya, kata Firli, salah satu Pimpinan BPK menerbitkan surat tugas untuk melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang lingkup pemeriksaannya diluar keuangan dan pemeriksaan kinerja.

“Dalam surat tugas tersebut, komposisi personilnya yaitu PLS (Kepala Perwakilan BPK Provinsi Papua Barat, Patrice Lumumba Sihombing) selaku penanggung jawab, AH (Kasubaud BPK Provinsi Papua Barat, Abu Hanifa) selaku pengendali teknis dan DP (Ketua Tim Pemeriksa BPK, David Patasaung) selaku Ketua Tim untuk melakukan pemeriksaan kepatuhan atas belanja daerah TA 2022 dan 2023 pada Pemerintah Daerah Sorong dan instansi terkait lainnya di AIMAS termasuk Provinsi Papua Barat Daya,” kata Firli.

Atas temuan pemeriksaan PDTT yang tidak dapat dipertanggungjawabkan itu, Kepala BPKAD Kabupaten Sorong Efer Segidifat (ES) dan Staf BPKAD Kabupaten Sorong Maniel Syatfle (MS) sebagai representasi Pj Bupati Sorong Yan Piet Mosso (YPM) kemudian melakukan komunikasi dengan Abu Hanifa dan David sebagai representasi Patrice Lumumba Sihombing pada Agustus 2023.

“Adapun rangkaian komunikasi tersebut diantaranya pemberian sejumlah uang agar temuan dari Tim Pemeriksa BPK menjadi tidak ada,” ucap Firli.

Terkait teknis penyerahan uang, sambung Firli, dilakukan secara bertahap dengan lokasi yang berpindah-pindah diantaranya di hotel yang ada di Sorong. Istilah yang disepakati dan dipahami untuk penyerahan uang tersebut, ungkap Firli, yaitu “titipan”.

Dikatakan Firli, Yan selalu mendapat laporan dari dua anak buahnya itu. Begitu juga Patrice yang tahu soal penyerahan uang dari Abu Hanifa dan David.

“Secara bergantian ES dan MS menyerahkan uang pada AH dan DP. Setiap penyerahan uang pada AH dan DP, selalu dilaporkan ES dan MS pada YPM begitu pun dengan AH dan DP juga melaporkan sekaligus menyerahkan uang tersebut pada PLS,” ujar Firli.

“Sebagai bukti permulaan awal, uang yang diserahkan YPM melalui ES dan MS pada PLS, AH dan DP sejumlah sekitar Rp 940 juta dan 1 buah jam tangan merek Rolex. Sedangkan penerimaan PLS bersama-sanna dengan AH dan DP yang juga sebagai bukti permulaan awal sejumlah sekitar Rp1,8 miliar,” ditambahkan Firli.

KPK memastikan akan terus mengembangkan kasus dugaan suap ini. Tak terkecuali, mendalami adanya dugaan keterlibatan pihak lain.

“Terkait besaran uang yang diberikan maupun yang diterima para tersangka, tim penyidik masih terus melakukan penelusuran dan pendalaman lanjutan serta tentunya akan dikembangkan dalam penyidikan,” tandas Firli.

Dalam kasus yang diungkap melalui Oprasi Tangkap Tangan (OTT) ini, KPK menetapkan enam orang sebagai tersangka. Yakni, Pj Bupati Sorong Yan Piet Mosso; Kepala BPKAD Kabupaten Sorong Efer Segidifat; Staf BPKAD Kabupaten Sorong Maniel Syatfle; Kepala Perwakilan BPK Provinsi Papua Barat Patrice Lumumba Sihombing; Kasubaud BPK Provinsi Barat Daya Abu Hanifa; dan Ketua Pemeriksa David Patasaung. Saat ini mereka telah mendekam di jeruji besi.