Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Sejumlah kelompok mahasiswa yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Mahasiswa Anti Politik Dinasti (AMAPI) berunjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam aksinya di gedung MK, mereka mendesak agar Mahkamah Kehormatan MK untuk memeriksa kejanggalan dalam pemeriksaan perkara oleh hakim MK terkait soal dikabulkannya putusan gugatan usia Capres Cawapres.

“Kami mendesak Anwar Usman turun dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Kami butuh negarawan,” tegas koordinator aksi Ahmad Fahrur Rozi dalam orasinya di belakang gedung MK, Jalan Abdul Musi, Gambir, Jakarta Pusat seperti dikutip Holopis.com, Jumat (20/10).

Dalam aksinya, massa juga menggelar spanduk bertuliskan “Putusan MK Cacat KPU Jadilah Juru Selamat”. Pun demikian, sepanjang aksi unjuk rasa tersebut massa tampak tertib mematuhi semua instruksi kepolisian agar tidak mengganggu lalu lintas.

Usai berunjuk rasa di MK untuk menyampaikan aspirasinya, massa juga mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum Pusat di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat. Di sana, mereka meminta agar KPU tidak mengubah PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) tentang syarat usia Capres/Cawapres tanpa konsultasi dengan Pemerintah dan DPR.

“Putusan MK adalah cacat hukum. Tolak politik dinasti. Kami menyatakan bahwa Gibran tidak sah mencalonkan diri sebagai pasangan calon sebelum KPU mengubah ketentuan pencalonan dalam PKPU,” sebutnya.

Dia melanjutkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XII/2023 yang dibacakan pada 15 Oktober 2023 tersebut, pihaknya telah menemukan ada sejumlah cacat hukum dalam mekanisme pengambilan keputusan oleh Mahkamah dalam pemeriksaan perkara a quo.

Sedari awal, perkara usia minimal Capres/Cawapres merupakan kewenangan dari DPR (open legal policy). Mahkamah dalam hal ini tidak berwenang menguji perkara yang sifatnya kehendak politik pembuat undang-undang (political complaint).

“Akan tetapi, dengan prosedur formil dan subtansi materil yang cacat tersebut, Mahkamah tetap mengabulkan perkara tersebut di mana usia minimal capres/cawapres dapat dikonversi dengan kepunyaan pengalaman menjadi kepala daerah (elected appointed),” tuturnya.

“Hal ini jelas adalah penyelundupan hukum yang nyata dan aktual direncanakan sedari awal. Semua ini mengakibatkan putusan MK terkait usia Capres/Cawapres cacat hukum baik secara formil maupun materil,” sambungnya.

Tak hanya itu, tambah mereka, pihaknya menyadari kalau putusan MK kendatipun cacat hukum tetap bersifat final dan mengikat (final and binding). Akan tetapi, dalam hal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak serta merta dapat mengubah PKPU Nomor 19 Tahun 2023 hanya karena mengadopsi putusan MK. Lembaga MK dalam hal ini tetap bukan dalam kapasitasnya sebagai lembaga pembuat undang-undang (positive legislator).

Dengan demikian, Fahrur mewanti-wanti agar KPU tidak salah langkah dalam menyikapi manuver MK dengan putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut. Sebab kata dia, sejak awal memang MK sudah tidak ada niat untuk berpihak pada kepentingan rakyat dalam memutus perkara tersebut. Para hakim tidak memikirkan dampak sosial politik putusannya, mereka bukan penjaga konstitusi tetapi pengawal para politisi.

“KPU RI jangan terkecoh, putusan MK ini bermasalah, KPU jangan sampai salah melangkah dan jangan mau dilimpahkan masalah-masalah. Beban kerja KPU RI sudah berat, jangan mau ditambah dengan urusan yang dasarnya sudah bermasalah, jangan grasak-grusuk,” tutur Fahrur.

Oleh karenanya, kata dia, perubahan terhadap PKPU harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Pemerintah dan DPR sebagai pihak pembuat Undang-Undang. Tanpa mekanisme semacam itu, hal tersebut jelas menimbulkan problem hukum baru di tengah masyarakat.

“Fakta saat ini, DPR dalam masa reses untuk mengagendakan perubahan terhadap PKPU. Sedangkan pendaftaran Capres/Cawapres akan berakhir pada Rabu, 25 Oktober 2023. Maka yang jelas, untuk kepastian hukum yang adil, syarat usia Capres/Cawapres yang dapat dikonversikan dengan kepunyaan pengalaman sebagai Kepala Daerah tidak dapat diberlakukan untuk Pemilu 2024,” pungkasnya.