HOLOPIS.COM, JAKARTA – Jaksa Shandy Handika mengungkapkan, bahwa alasan ia diwawancara oleh pihak Netflix bertujuan untuk membuat film dokumenter kasus Jessica Wongso yang membunuh temannya Mirna Salihin dengan racun sianida.

Pada saat itu, Netflix meminta izin kepada Shandy dengan alasan ingin mengangkat kisah Jaksa yang menangani kasus pembunuhan kopi sianida di dalam persidangan.

“itu untuk mencari tahu bagaimana versi jaksa dan apa yang dialami oleh tim jaksa pada saat persidangan bukan persidangan itu sendiri,” ungkap JPU Shandy dalam podcast Denny Sumargo, dikutip Holopis.com, Kamis (12/10).

Jaksa Penuntut Umum, Shandy Handika tidak menyangka bahwa tayangan film dokumenter tentang kasus Jessica Wongso yang diangkat Netflix ini ternyata tidak sesuai dengan harapannya.

Bahkan film tersebut sampai detik ini masih ramai diperbincangkan khalayak publik.

“Yang kami bayangkan adalah gambaran mengenai bagaimana seputar persidangan. Karena itulah yang ditawarkan oleh Netflix bukan materinya. Tapi ternyata, pada saat film dokumenternya muncul. Ini ternyata dari pihak penasehat hukum masuk dalam materi perkara,” terang Shandy.

“Jadi malah menggali lagi sesuatu yang sudah menjadi analisa dan perdebatan 2016. Kami menghindari itu, tapi ternyata pihak penasehat hukum membahas kejanggalan,” lanjutnya.

Prof Eddy Menilai Tak Perlu Lagi Mengungkit Kejanggalan

Sementara itu, Wamenkumham Edward Omar Syarief Hiarej alias Prof Eddy mengatakan bahwa dalam film dokumenter jika ada orang hukum yang terlibat sebagai narasumber, maka tidak perlu mengungkit kejanggalan lagi. Hal itu dia katakan berdasarkan pemahamannya ketika kuliah.

“Seharusnya kalau orang paham hukum, film dokumenter seperti itu tidak lagi membahas kejanggalan. Karena kita di fakultas hukum itu diajarkan postulat, Res Judicata Pro Veritate habetur, artinya putusan pengadilan itu harus dianggap benar dan dihormati,” ujar Prof Eddy.

Menurut Prof Eddy, seharusnya tidak ada perdebatan lagi apalagi kasusnya sudah di uji hingga lima kali, tanpa ada opini, dan para hakim pun semuanya memiliki persepsi yang sama.

“Tidak ada lagi perdebatan. Kasus itu sudah diuji lima kali, peninjauan kembali 2 kali. Jadi pengadilan negeri diputus 20 tahun, pengadilan tinggi, Mahkamah Agung, peninjauan kembali diputus 20 tahun dan non disetting opinion. Berarti tidak ada pendapat hakim yang berbeda,” kata Prof Eddy.

Lebih lanjut, Prof Eddy menjelaskan bahwa ketika melihat majelis hakim di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, kasasi dan ada PK sampai dua kali.

Maka keputusan yang sudah dibentuk oleh 15 hakim tanpa disetting opinion. Hal ini berarti, mereka memiliki keyakinan penuh untuk membenarkan dan menguatkan keputusan pengadilan negeri.