Walhi Minta Negara Akui Eksistensi Rakyat Rempang

HOLOPIS.COM, JAKARTA – Sejumlah suku Melayu di Rempang sudah tinggal di sana sejak berabad lamanya. Bahkan para penduduk Rempang mengklaim jika mereka telah tinggal di pulau tersebut sejak tahun 1834. Hal ini seharusnya menjadi sudut pandang yang harus ditelaah kembali oleh pemerintah.

Hal ini seperti disampaikan oleh Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat, Divisi Wilayah Kelola Rakyat (WKR), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Ferry Widodo dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Kamis (21/9).

Ia memberikan pemberat materi tentang sikap penolakan Walhi atas upaya pemerintah dalam melakukan upaya pengosongan paksa wilayah tanah ulayat di Pulau Rempang untuk menjalankan Program Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City di kawasan yang memiliki luas sekitar 2.000 hektar itu.

“Sebanyak 7.500 orang penduduk Rempang, termasuk Masyarakat Adat Tempatan dari 16 kampung Melayu Tua yang dihuni oleh Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal mereka yang sudah sejak lama mereka huni dari zaman leluhurnya,” kata Ferry.

Bagi dia, ada persoalan yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah di dalam melakukan implementasi dari proyek yang sudah kadung melakukan tanda tangan dengan perusahaan pembuat kaca terbesar di dunia dari China, yakni Xinyi.

“Proses pemindahan diberi waktu sangat cepat. Sampai dengan akhir September 2023, mereka harus pindah ke tempat relokasi, sementara yaitu rusun-rusun, sedangkan rumah yang dijanjikan sebagai pengganti belum rampung,” terangnya.

Sebagai bagian dari elemen pendamping warga Rempang, Ferry menegaskan bahwa Walhi yang bekerja sama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengharapkan agar realisasi dari PSN Rempang Eco City tersebut dihentikan. Hal ini sebagai saran agar tidak lagi ada konflik dan bentrokan fisik antara rakyat dengan aparat.

Ferry menerangkan bahwa PSN yang dijalankan oleh pemerintah dengan mengabaikan aspek aspirasi rakyat Rempang justru sudah mencederai dan menjauhkan masyarakat dari sumber penghidupannya selama ini.

“Agar tidak memakan banyak korban, berbagai konflik yang terjadi akibat PSN perlu penyelesaian secara cepat, efektif, dan mengakomodir hak masyarakat sekitar, termasuk Masyarakat Adat,” tegasnya.

“Organisasi masyarakat yang diwakili oleh WALHI dan AMAN menyerukan untuk menghentikan PSN yang berpotensi memicu konflik,” lanjut Ferry.

Sebagai bagian dari penghormatan bagi masyarakat adat yang sudah bercokol sejak lama bahkan sebelum Indonesia Merdeka, Ferry mengharapkan agar pemerintah sebagai instrumen negara bisa memberikan perhatian serius kepada masyarakat, termasuk di Rempang.

Dimana pemerintah bisa memberikan pengakuan terhadap masyarakat yang ada di pulau Rempang dengan dibuktikan melalui cara tidak dipaksanya masyarakat untuk keluar dari kampung Melayu Tua.

Lalu, Ferry juga menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia perlu melakukan kajian ulang terhadap kebijakan yang seolah melegalkan kejahatan kemanusiaan. Salah satunya melalui UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang tidak mewajibkan adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).

Lalu, yang juga perlu dicek lagi adalah, tentang dokumen yang sudah dikeluarkan seperti Hak Pengelolaan Lahan (HPL) pada perusahaan PT Meta Estetika Graha (MEG) yang akan mengembangkan Rempang Eco City.

“Sekali lagi saya tegaskan, HPL bukan pengakuan hak atas tanah hanya hak pengelolaan yang bisa diberikan kepada badan usaha atau pemerintah. Tetapi, jika ada masyarakat di atasnya wajib direlokasi diganti rugi dengan syarat musyawarah,” tutup Ferry.

Temukan kami di Google News, dan jangan lupa klik logo bintang untuk dapatkan update berita terbaru. Silakan follow juga WhatsApp Channnel untuk dapatkan 10 berita pilihan setiap hari dari tim redaksi.

Berita Lainnya

Presiden Republik Indonesia

BERITA TERBARU

Viral