HOLOPIS.COM, JAKARTA – Direktur Imparsial, Gufron Mabruri mendesak kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta agar Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengevaluasi Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro yang menyatakan bahwa prajurit aktif boleh menjadi kuasa hukum dalam kasus perkara sipil.

“Imparsial mendesak kepada Presiden memerintahkan Panglima TNI untuk mengevaluasi Kababinkum TNI yang telah salah dan keliru menafsirkan aturan perundang-undangan sehingga menimbulkan polemik hukum dan dikhawatirkan membenarkan perilaku Prajurit TNI untuk menjadi penasihat hukum di peradilan umum,” kata Gufron dalam siaran persnya seperti dikutip Holopis.com, Sabtu (12/8).

Ia menegaskan bahwa prajurit aktif tidak boleh menjadi advokat atau kuasa hukum dalam perkara pidana umum seperti yang tengah diupayakan oleh Mayor Dedi Hasibuan.

“Kami memandang, pernyataan Kababinkum TNI yang menyatakan anggota TNI dapat memberi bantuan hukum bagi prajurit TNI dan keluarga menunjukkan bahwa Kababinkum tidak memahami secara komprehensif aturan hukum terkait peran TNI dalam proses penegakan hukum,” ujarnya.

Dengan demikian, pihaknya pun melihat bahwa Kababinkum TNI tersebut tidak paham soal hukum. Dan melalui statemennya bisa memicu kekacauan hukum di kalangan masyarakat.

Dalam penjelasannya, Gufron mengatakan bahwa memang benar bahwa setiap orang tanpa terkecuali prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI berhak mendapatkan bantuan hukum. Hak atas bantuan hukum merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 7 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menjamin persamaan kedudukan di muka hukum. Selanjutnya diatur pula di dalam Pasal 16 dan Pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi Hak Sipil dan Politik) yang pada intinya menjamin bahwa semua orang berhak atas perlindungan dari hukum.

Selain merupakan hak asasi manusia bantuan hukum juga merupakan amanat Pasal 27 UUD NRI 1945. Untuk melaksanakan amanat konstitusi tersebut, pengaturan tentang bantuan hukum bagi masyarakat secara umum diatur Kembali dalam Pasal 69 KUHAP, Pasal 56 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 UU 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang pada intinya setiap orang tanpa terkecuali berhak mendapatkan bantuan hukum.

Namun demikian, secara khusus bagi lingkungan TNI, jaminan bantuan hukum kembali ditegaskan dalam pasal Pasal 105, 215 dan 216 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang pada intinya adanya jaminan bantuan hukum bagi tersangka yang diadili di peradilan militer maupun koneksitas. Jaminan tersebut juga kembali ditegaskan UU TNI dalam Pasal 50 ayat (2) huruf f yang menyatakan “prajurit dan prajurit siswa mendapatkan rawatan dan layanan kedinasan meliputi.. (f). bantuan hukum”. Selanjutnya Pasal 50 ayat 3 “keluarga prajurit memperoleh layanan kedinasan meliputi.. (c). bantuan hukum”.

“Kami memandang, keseluruhan pasal yang disebutkan di atas harus dipahami sebagai adanya jaminan negara kepada siapapun termasuk prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI untuk memperoleh bantuan hukum,” tuturnya.

Pasal-pasal tersebut jika dicermati tidak ada yang menyebutkan adanya pemberian kewenangan kepada prajurit TNI untuk dapat memberikan pendampingan/ bantuan hukum dalam lingkup (yurusdiksi) peradilan selain peradilan militer dan peradilan koneksitas.

Oleh sebab itu, Gufron mengatakan bahwa hal ini harus digaris bawahi oleh Kababinkum mengingat keterangan yang disampaikan oleh Kababinkum terkait dengan kasus Mayor Dedi Hasibuan yang mengaku sebagai pendamping hukum keluarganya di Polrestabes Medan, Sumatera Utara.

Hak untuk menerima bantuan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) UU TNI tidak boleh ditafsirkan bahwa bantuan hukum tersebut harus atau bisa berasal dari institusi TNI. Terlebih bila lingkup (yurisdiksi) peradilan yang memproses kasus hukum tersebut bukan peradilan militer atau peradilan koneksitas.

Baca selengkapnya di halaman kedua