HOLOPIS.COM, JAKARTA – Analis politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting meminta Mabes TNI jangan arogan dalam kasus dugaan suap senilai Rp88,3 miliar yang melibatkan Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi.
Ia juga menyayangkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta maaf kepada Mabes TNI dalam kasus operasi tangkap tangan (OTT) terkait keterlibatan prajurit aktif TNI, sebagai sikap yang sangat memalukan.
“KPK bisa mengabaikan permintaan Mabes TNI soal peradilan militer, karena KPK punya kewenangan lex specialis dalam pemberantasan korupsi, tanpa terkecuali. Undang-undang khusus (lex specialist) bisa mengabaikan undang-undang umum (lex generalis),” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas tersebut seperti dikutip Holopis.com, Minggu (30/7).
Dikemukakan, keberatan Marsdya Henri Alfiandi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan alasan militer aktif, seharusnya diabaikan saja. Semua warga negara memiliki kesamaan kedudukannya di dalam hukum, karena itu TNI tidak boleh diistimewakan.
Menurut dia, publik justru lebih keberatan dengan perilaku koruptif yang diduga dilakukan jenderal bintang tiga Angkatan Udara itu dengan meminta jatah biaya 10 persen dari proyek sejak 2021 hingga 2023.
“Buat apa Mabes TNI melalui Kapuspen (Kepala Pusat Penerangan) TNI, Kababinkum (Kepala Badan Pembinaan Hukum) TNI, serta Danpuspom (Komandan Pusat Polisi Militer) TNI terkesan membela perilaku koruptif perwira tinggi militer? Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary), karena itu harus ada kebijakan luar biasa dari pimpinan TNI, bukan malah terkesan membela perwira tinggi,” ucapnya.
Henri Sudah Sipil
Menurut Selamat Ginting, Henri Alfiandi sesungguhnya sudah pensiun dari dinas militer, karena telah berusia 58 tahun pada 24 Juli 2023 lalu. Memang secara administrasi sedang menunggu surat pensiun tertanggal 1 Agustus 2023 mendatang. Henri dinyatakan sebagai tersangka pada 26 Juli 2023, saat umurnya sudah lewat 58 tahun, sesuai ketentuan usia pensiun perwira TNI. Jadi KPK tidak perlu tunduk pada Mabes TNI, cukup melaporkannya saja.
Bahkan, lanjut Ginting, berdasarkan surat keputusan Panglima TNI, sejak 17 Juli 2023, posisinya sebagai Kepala Basarnas sudah digantikan Marsdya Kusworo. Serah terima jabatan menunggu Keputusan Presiden, karena Basarnas berada langsung di bawah Presiden.
“Itu semuanya hanya administratif saja. Jadi sejatinya Henri Alfiandi sudah sipil, jadi jangan dicarikan alasan harus melalui peradilan militer kemudian Mabes TNI protes kepada KPK. Basarnas pun lembaga sipil di bawah presiden. Basarnas bukan lembaga militer, walau pun dipimpin perwira tinggi bintang tiga,” tegasnya.
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK, lanjut Ginting, merupakan operasi rahasia, seperti juga operasi intelijen dalam militer. Tidak ada kewajiban untuk memberitahu pihak lain dalam operasi intelijen maupun OTT. Termasuk kepada rekan dalam satu institusi, apalagi institusi lain.
Baca selengkapnya di halaman kedua.