HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI), Gurun Arisastra memberikan sentilan kepada Mahkamah Agung (MA) terkait polemik nikah beda agama.
Menurutnya, Surat Edaran (SE) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat yang Berbeda Agama dan Keyakinan yang dikeluarkan oleh MA tak bisa menyelesaikan masalah.
“Surat Edaran Mahkamah Agung itu bukan produk UU, secara hukum kekuatan surat edaran tidak mengikat bagi hakim, tidak ada kewajiban mematuhi surat edaran dan juga tidak ada sanksi jika tidak mematuhi surat edaran,” kata Gurun kepada Holopis.com, Rabu (19/7).
Oleh sebab itu, ia menilai apa yang dilakukan oleh MA yang seolah-olah ingin mengatasi polemik pernikahan beda agama hanya buang-buang energi saja.
“Jadi percuma jika surat edaran dibuat namun UU Administrasi Kependudukan tidak direvisi,” ujarnya.
Bagi Gurun, langkah konkret dari upaya mengentaskan masalah pernikahan beda agam hanya bisa dilakukan dengan melakukan revisi terhadap Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
“Untuk menyelesaikan nikah beda agama hanya bisa diselesaikan dengan merevisi undang-undang administrasi kependudukan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung secara resmi mengeluarkan larangan pencatatan perkawinan beda agama dan keyakinan di seluruh pengadilan.
Hal itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat yang Berbeda Agama dan Keyakinan.
“Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan,” tulis Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin dalam surat edaran tersebut, Selasa (18/7).
Dikeluarkannya Surat Edaran itu diklaim demi memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Sebab, dari aturan yang ada, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
“Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,” imbuhnya.