Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos menyampaikan ucapan selamat hari ulang tahun Polri yang ke 77 tahun. Ia memiliki harapan besar, di usianya semakin senja bisa menjadi refleksi bagi institusi penegakan hukum tersebut semakin kuat untuk kepentingan bangsa dan negara.

“SETARA Institute mengucapkan Selamat Hari Bhayangkara ke-77 tahun 2023. Semoga Kepolisian Republik Indonesia (Polri) semakin berkontribusi untuk menguatkan kebinekaan Indonesia dan menjamin perlindungan dan penghormataan hak atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) untuk seluruh warga,” kata Bonar dalam keterangan tertulisnya yang diterima Holopis.com, Minggu (2/6).

Di momentum yang membahagiakan ini, Bonar mendorong agar Polri mau melakukan upaya melakukan pembenahan terhadap pasal-pasal hukum yang dianggap cukup karet dan rentan multi tafsir. Salah satunya adalah tentang pasal penodaan terhadap agama.

“Dalam spirit Hari Bhayangkara itu, SETARA Institute mendorong agar Polri menghentikan atau paling tidak melakukan moratorium atas penggunaan pasal penodaan agama,” ujarnya.

Karena menurut dia, secara hukum pasal-pasal penodaan agama dalam UU Nomor 1/PNPS/1965, KUHP, dan UU ITE merupakan ketentuan hukum yang problematis, dengan unsur-unsur pidana yang kabur (obscuur), dan tidak memberikan kepastian hukum (lex certa).

“Menurut data riset KBB SETARA Institute (2007-2022), hukum penodaan agama kerapkali digunakan untuk mengriminalisasi pihak-pihak tertentu secara sewenang-wenang. Kasus-kasus kriminalisasi tersebut melingkupi spektrum kasus yang luas; dari soal asmara, penanganan jenazah, sampai penghukuman atas interpretasi keagamaan,” terangnya.

Selain itu, Bonar juga menjelaskan bahwa di dalam catatan SETARA Institute, penerapan pasal-pasal penodaan agama lebih tampak sebagai “peradilan” oleh tekanan massa (trial by mob). Padahal idealnya, pihak kepolisian tidak boleh tunduk pada tekanan massa dan kelompok keagamaan tertentu, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Ketundukan pada tekanan kelompok tertentu tersebut biasanya dijustifikasi pihak kepolisian dengan penggunaan pasal penodaan agama,” imbuhnya.

Oleh sebab itu, di momentum Hari Bhayangkara yang jatuh setiap tanggal 1 Juli tersebut, Bonar mengatakan bahwa SETARA Institute kembali mengingatkan Polri tentang fatwa MUI bukanlah hukum positif dan peraturan perundang-undangan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia.

“Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: UUD Negara RI Tahun 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota,” papar Bonar.

Sementara, fatwa merupakan pandangan keagamaan dari ormas keagamaan tertentu mengenai suatu kasus atau fenomena aktual yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Organ pemerintahan negara, termasuk Polri, dapat menimbang pandangan Ormas keagamaan tersebut yang dapat dipastikan beragam dan tidak tunggal.

“Namun demikian, fatwa Ormas Keagamaan tidaklah mengikat Polri dan elemen kelembagaan negara apapun untuk menjadikannya sebagai dasar formal bagi tindakan hukum yang akan diambil oleh Negara,” pungkasnya.