HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir memperingatkan agar tak ada lagi ulama, muballigh atau penceramah / dai yang memperdebatkan lagi persoalan perbedaan Idul Adha 1444 H, apakah yang murni benar adalah tanggal 28 Juni atau 29 Juni 2023.
Bagi dia, perbedaan itu harus disikapi dengan baik dan mengedepankan toleransi.
“Pesan kami, hari ini dan besok serta seterusnya, termasuk di media sosial, tidak perlu lagi ada ustadz, muballigh dan tokoh yang tidak henti mempertentangkan,” kata Haedar di Yogyakarta seperti dikutip Holopis.com, Rabu (28/6).
Perdebatan yang hanya mengedepankan sikap kengeyelan satu sama lainnya justru bisa berimplikasi pada terkikisnya nilai ibadah. Sehingga, ia menyarankan agar hal itu tidak perlu sampai terjadi dan berlarut-larut.
“Nanti bisa-bisa malah nilai ibadah kita menjadi hilang atau berkurang,” ujarnya.
Diterangkan Haedar, bahwa perbedaan antara tanggal 28 Juni maupun 29 Juni 2023 memiliki argumentasi dan dasar masing-masing. Dalam konteks ini, ia meminta agar semuanya bisa menghargai pendapat dan keyakinan masing-masing.
“Jadi, berbagai argumen baik dari dalil Alquran maupun sunnah dan keilmuan itu pakailah untuk keyakinan masing-masing, tidak perlu saling menyalahkan,” tuturnya.
Paling tidak kata Haedar, sampai seluruh negara di dunia memiliki standar kalender bulan hijriyah layaknya kalender Masehi yang dipedomani secara universal.
“Sampai nanti kita umat Islam sedunia punya kalender global, sebagaimana kalender Masehi,” tegasnya.
Muhammadiyah apresiasi pemerintah
Dalam kesempatan yang sama, Haedar Nashir menilai bahwa perbedaan di dalam menjalankan kalender Idul Adha atau 10 Dzulhijjah 1444 H bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan terlalu jauh, apalagi sampai memicu perselisihan dan perpecahan.
Baca selengkapnya di halaman kedua.