HOLOPIS.COM, JAKARTA – Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan mengharapkan agar pemerintah Indonesia tidak salah langkah dan gegabah di dalam menangani persoalan Pondok Pesantren Al Zaytun dan Panji Gumilang.
Hal ini disampaikan dengan melihat dinamika yang muncul, yang mana banyak kalangan yang mendorong agar ada pembubaran paksa lembaga pendidikan tersebut, hingga pemberian label sesat terhadap ajaran yang ada di dalam pondok pesantren tersebut.
Menurut Halili, pemerintah harus melakukan investigasi lebih mendalam dan berimbang di dalam menyikapi polemik Pondok Pesantren yang ada di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat tersebut.
Sehingga nantinya, apa pun yang dilakukan oleh pemerintah dan semua instrumen hukum dan keamanan lainnya bisa menangani polemik ini dengan baik dan bijak berdasarkan bukti dan fakta-fakta yang kuat, tidak sekadar memenuhi amarah publik.
“Langkah apa pun yang akan diambil oleh pemerintah harus berdasarkan bukti-bukti faktual dan berlandaskan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Halili dalam keterangan tertulisnya yang diterima Holopis.com, Minggu (25/6).
Ia mengatakan bahwa polemik Al Zaytun tidak hanya terjadi kali ini saja, akan tetapi sudah terjadi cukup lama dan berulang, bahkan sejak pondok pesantren tersebut berdiri pada 1994 di atas lahan sangat luas sekitar 1.200 hektar, yang pernah disebut oleh sebuah media asing sebagai the largest Islamic madrasah in Southeast Asia.
“Dalam konteks itu, investigasi yang komprehensif akan menjamin terpenuhinya hak publik untuk mengetahui dan mendapat kebenaran (right to know and to truth),” jelasnya.
Kemudian, Halili juga mengharapkan agar pemerintah Indonesia mau membedakan antara oknum-oknum tertentu di dalam Al Zaytun dengan yayasan atau lembaga pendidikannya. Karena bisa jadi, keduanya sebenarnya memiliki perspektif yang berbeda sehingga penanganannya pun tentu akan berbeda pula.
“Pemerintah juga mesti bertindak adil. Pintu masuk yang paling strategis untuk mewujudkan keadilan dalam polemik Al Zaytun adalah berkenaan dengan afiliasi pimpinan dan sistem Al Zaytun dengan Negara Islam Indonesia (NII),” tandasnya.
Juga tentang berbagai pelanggaran pidana yang dilakukan oleh entitas di dalam Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) Al Zaytun, baik oleh individu maupun badan Al Zaytun sebagai Lembaga Pendidikan.
Terakhir, ia juga meminta kepada pemerintah untuk tidak masuk ke dalam ranah yang lebih jauh tentang ajaran yang diterapkan di dalam lembaga pendidikan pimpinan Panji Gumilang itu.
“Pemerintah hendaknya tidak masuk terlalu dalam pada polemik sesat tidak sesatnya pandangan dan ajaran keagamaan yang dikembangkan di sana dan kemungkinan mengambil langkah populis yang berangkat dari penghukuman sesat tersebut,” tuturnya.
Bagi Halili, persoalan klaim sesat atau tidaknya pandangan dan ajaran keagamaan seharusnya menjadi domain perdebatan tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga keagamaan terkait.
“Sebagaimana dalam kasus-kasus berdimensi keagamaan lainnya, pemerintah tidak boleh meletakkan hukum negara di bawah pandangan dan fatwa lembaga keagamaan tertentu,” ucapnya.
Terakhir, SETARA Institute juga mengharapkan agar pemerintah Indonesia dalam hal ini Kemenko Polhukam dan Kementerian Agama untuk tidak mengabaikan hak-hak konstitusional para pelajar dan santri di Pondok Pesantren Al Zaytun itu.
“Polemik Al Zaytun juga berkenaan dengan hak-hak atas pendidikan serta hak-hak atas perlindungan diri, integritas, dan keamanan warga negara di dalamnya, terutama 7.000-an santri dan peserta didik di sana,” terangnya.
“Mitigasi dampak dan asesmen kebutuhan harus dilakukan oleh pemerintah, bersamaan dengan investigasi komprehensif dan adil tersebut,” pungkas Halili.