HOLOPIS.COM, JAKARTA – Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) terus melakukan aksi damai di depan gedung DPR RI sambil memasang tenda.
Sambil membawa panci, mereka mengharapkan agar Ketua DPR RI Puan Maharani mau berdialog dan mendengarkan secara langsung tuntutan mereka.
“Tenda perempuan ini sebagai wujud perjuangan perempuan dalam menunggu Ketua DPR RI, Puan Maharani untuk berdialog bersama para PRT korban,” kata koordinator nasional JALA PRT, Lita Anggraini dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Senin (13/3).
Ia mengatakan bahwa Puan Maharani harus mau mendengarkan suara mereka. Apalagi Puan dianggap sebagai representasi kaum perempuan Indonesia yang saat ini memimpin lembaga legislatif.
Kata Lita, kondisi kaum pekerja Indonesia khususnya pekerja rumah tangga sedang mengalami defisit perlindungan.
Sehingga, payung hukum yang bisa memberikan perlindungan khusus kepada kaum PRT patut segera disahkan, yakni Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT).
“Aksi ini menunjukkan daruratnya situasi PRT dan menunggu sikap Ketua DPR yang belum mau bertemu para PRT,” ujarnya.
Kasus Kekerasan Pekerja Rumah Tangga
Beberapa waktu yang lalu, Lita juga sempat mengatakan, bahwa lebih dari 400 pekerja rumah tangga (PRT) mengalami beragam tindakan kekerasan. Data itu diambil dari sampel waktu sejak tahun 2012 hingga 2021.
Menurut Lita, angka itu setidaknya mencerminkan bahwa selama ini PRT bekerja dalam situasi yang tidak layak.
“Data terakhir hingga Desember 2021, rata-rata terjadi 400-an kekerasan terhadap PRT dari berbagai aspek seperti psikis, fisik, ekonomi, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia,” kata Lita dalam diskusi daring, Minggu (16/1).
Praktik perbudakan modern hingga perdagangan manusia juga tak luput dari kehidupan para PRT. Pasalnya, berbagai kerentanan mulai dari jam kerja yang panjang, tidak memiliki hari libur, tak mempunyai jaminan sosial, kesehatan, dan ketenagakerjaan.
Kemudian, beban kerja yang tak terbatas serta rentan terhadap eksploitasi, sampai tindak kekerasan. Bahkan, kekerasan ekonomi juga dialami PRT seperti upah yang tidak dibayarkan oleh pemberi kerjanya.
Mirisnya, kasus-kasus yang kerap menimpa para PRT kerap tak diketahui oleh publik karena keterbatasan akses untuk mengadukan apa yang dialaminya.
“Ada juga yang upahnya dipotong, bahkan ada warga ekspatriat di Jakarta memanfaatkan kekosongan hukum ini dengan mempekerjakan dengan eksploitasi. Jadi teman-teman PRT ini ada yang disekap, tidak dibayar upahnya tiga bulan. Bahkan, ada PRT yang tidak dibayar selama dua tahun,” ungkap Lita.
Tidak hanya mendapatkan kekerasan dan pemenuhan hak yang diabaikan, lebih dari 82 persen para PRT tidak mendapatkan akses jaminan kesehatan.
Dalam data survei JALA PRT mengenai pemenuhan jaminan sosial pada Agustus 2021, ada 868 PRT, dan 82 persen di antaranya tidak mendapatkan jaminan kesehatan nasional. Padahal tenaga PRT sangat dibutuhkan namun jaminan kesehatannya kerap terabaikan, tidak mendapat perhatian, dan dukungan dari negara.
“PRT dengan upah dari 20 sampai 30 persen dari upah minimum provinsi, mereka tidak bisa membayar jaminan kesehatan nasional secara mandiri,” papar Lita.
Sedangkan terkait jaminan sosial ketenagakerjaan, hampir 100 persen PRT tidak dapat ikut serta dalam jaminan sosial ketenagakerjaan untuk bisa mendapatkan jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan pensiun.
“Jadi ini situasi yang terjadi pada PRT. Tapi itu dianggap sebagai hal tak penting. Itu adalah hal yang sangat disesalkan,” ucapnya.