HOLOPIS.COM, JAKARTA – Di antara orang yang mengalami depresi, galau atau gelisah ada yang mencari solusi dengan makan makanan tertentu yang diidam-idamkan, layaknya orang yang hamil muda. Makanan seperti ini konon bisa membuat mereka merasa lebih tenang. Istilahnya adalah comfort food.
Charles Spence, seorang peneliti psikologi dari University of Oxford, menyebutkan orang sering mengasosiasikan comfort food dengan pengalaman dan kenangan yang menyenangkan, yang dirasakan secara sadar atau tidak.
Comfort food juga sering diasosiasikan dengan kenangan akan kebebasan. Bagi sebagian yang lain comfort food akan membuat mereka merasa hangat dan aman saat mencecapnya.
Pertanyaanya kenapa manusia bisa merasakan keinginan mendalam akan comfort food ini ? Benarkah bahwa comfort food benar-benar berefek membuat tenang dan nyaman ?
“Apakah karena makanan itulah yang diberikan kepada kita saat kita kanak-kanak, sehingga saat kita dewasa, kita akan mencari makanan itu saat merasa terancam secara emosional,”kata Spence yang telah menulis banyak buku tentang topik ini seperti dikutip Livescience.
Pada 2017, karya ilmiahnya tentang comfort food diterbitkan International Journal of Gastronomy and Food. Spence menyebut bahwa comfort food biasanya adalah makanan ringan yang mudah dimasak. Biasanya juga terkait dengan momen perayaan tertentu.
Ada satu lagi ciri khas dari makanan ini adalah sumbernya yang banyak berasal dari gula dan karbohidrat. Ini agak menyeramkan, karena berarti pula comfort food cenderung tinggi kalori.
Comfort food biasanya terbuat dari sebagian besar adalah lemak jenuh, karbohidrat olahan dan gula. Sehingga lebih lama untuk dicerna dan membuat orang merasa lebih kenyang. “Namun, kamu perlu diketahui bahwa 1 gram lemak mengandung sekitar 9 kalori atau setidaknya dua kali lipat dari kalori karbohidrat dan protein,”kata dr. Rizal Fadli seperti dikutip dari halodoc.
Artinya, konsumsi berlebihan sudah pasti akan meningkatkan kadar kolesterol jahat dalam darah dan mengundang risiko penyakit jantung. Sementara karbohidrat dan gula berlebih bisa meningkatkan kadar gula darah dengan cepat.
Terlepas dari risiko buruk comfort food, mengapa otak manusia masih bisa dikecoh oleh makanan ini? Sebuah penelitian menyebutkan otak bekerja seolah-olah seperti mendapatkan hadiah saat orang makan comfort food ini.
“Otak manusia memiliki ‘titik hedonis’ – yaitu titik yang di area yang bereaksi seperti saat manusia mendapatkan hadiah. Yaitu saat mengkonsumsi makanan yang manis, berlemak dan tinggi garam. Inilah yang memicu dopamin dari otak untuk membuat manusia terus mencari dan mengonsumsi makanan serupa,” tulis sebuah penelitian di jurnal Physiology & Behavior tahun 2020.
Dopamin adalah hormon atau zat kimiawi yang memainkan peran penting dalam menentukan suasana hati seseorang.
Berbagai penelitian telah menemukan bahwa makanan tertentu – kadang-kadang disebut sebagai makanan tergolong “sangat enak” – mengkatalisasi perasaan senang yang intens. Akibatnya, otak mendorong kita untuk mengejar barang-barang tersebut berulang kali.
Menurut peneliti di Harvard School of Public Health, makanan yang tergolong sangat enak umumnya mudah dicerna dan manis, asin, atau kaya rasa. Makanan yang sangat enak diketahui juga merangsang pelepasan berbagai hormon di luar dopamin, termasuk insulin, kortisol (stres) dan leptin (pemicu rasa lapar).
Peningkatan hormon ini dapat membuat manusia mengidam lagi makanan atau rasa tertentu. Sementara makanan sehat cenderung tidak mengandung unsur-unsur ketagihan ini. Sayuran berdaun hijau, misalnya, kaya akan vitamin, mineral, dan serat, tetapi rendah gula dan garam — sehingga otak seseorang cenderung tidak menginginkannya dengan cara yang sama.
Lalu apakah segitu saktinya comfort food bisa mengusir stres dan rasa tak nyaman? Ternyata tidak juga. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa makanan tersebut tidak selalu efektif untuk mencapai tujuan ini.
Sebuah studi pada 2020 yang dilakukan oleh OnePoll menemukan bahwa, untuk mengatasi efek negatif pandemi seperti lockdown, dua dari tiga orang dewasa AS, baik secara sadar atau tidak sadar, mengonsumsi makanan yang mereka nikmati selama masa kanak-kanak.
Kurang dari setengah atau 41% responden mengatakan bahwa mereka mencari comfort food alias makanan yang menenangkan untuk “membawa kebahagiaan” dari perasaan galau akibat pandemi itu.
Terlebih lagi, dalam polling yang dilakukan sebuah supermarket di Inggris tahun 2022 terhadap 2.000 orang dewasa, tercatat satu dari empat orang mengaku makan comfort food setidaknya lima kali seminggu. Lucunya kemudian lebih dari setengahnya (56%) mengatakan makanan itu membuat mereka merasa lebih buruk. Mereka menyesal makan comfort food yang menenangkan yang kurang sehat itu.
Intinya, comfort food memang menenangkan dan efektif memicu dopamin dalam waktu singkat. Tapi kemudian memunculkan penyesalan dan malu karena orang sadar pilihan comfort food mereka bukan pilihan yang sehat.
Penelitian lain, menemukan suatu hal yang cukup mengejutkan. Comfort food sebenarnya meski memang memberi efek menyenangkan dan menenangkan — tapi ternyata efek yang dihasilkannya ini tak lebih baik dari makanan lain. Seperti yang tertulis di jurnal Health Psychology pada 2014, comfort food meski bisa membuat hati gembira. Tapi ternyata makanan lain juga bisa memberi efek yang sama. (berbagai sumber)