HOLOPIS.COM, JAKARTA – Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah pembicaraan yang masih dianggap tabu dan momok yang menakutkan bagi insan muda yang masih belum memiliki pasangan.
Kasus kekerasan ini juga masih menjadi perdebatan banyak kalangan dengan berbagai macam opini dan nilai-nilai yang dianut masing-masing.
Namun, ada satu hal dari KDRT yang harus diperhatikan dan dikhawatirkan, yaitu pengaruhnya terhadap anak.
Menurut penjelasan dari Psikolog Klinis Universitas Jayabaya, Sri Mulyani Nasution, kekerasan dalam rumah tangga akan berlangsung turun temurun.
Hal tersebut karena orang tua, terutama ayah, yang melakukan kekerasan bisa menjadi objek identifikasi dari si anak yang sedang berkembang.
“Kekerasan itu ada rantainya. Akan berlangsung secara turun-temurun. Seorang anak akan menjadikan ayahnya objek identifikasi,” kata Sri Mulyani kepada Holopis.com, Rabu (20/12).
Selama ini, selalu muncul perdebatan masyarakat mengenai apakah bercerai dari perilaku KDRT adalah keputusan yang tepat.
Menurut Sri Mulyani, tidak bercerai dari perilaku KDRT justru bisa memberikan dampak negatif terhadap anak.
“Tidak bercerai dari suami yang melakukan kekerasan sama dengan memberikan contoh buruk kepada anaknya. Perilaku kekerasan jadi dinormalisasi, dan anak bisa melakukan yang sama ketika memiliki istri,” pungkasnya.
Penjelasan mengenai rantai KDRT juga pernah dibahas oleh Komnas Perempuan. Rantai KDRT atau yang bisa juga disebut dengan siklus KDRT tidak akan berhenti, dan justru bisa semakin parah setelah hubungan terkesan membaik,
“Kami mengingatkan bahwa dalam KDRT, terjadi siklus kekerasan, yaitu adanya fase ketegangan, kekerasan, minta maaf, hubungan kembali membaik yang intensitasnya semakin cepat, dan bentuk kekerasannya dapat memburuk,” Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi.