HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menyampaikan, terdapat pendekatan tekanan hukum untuk menyempitkan ruang berekspresi masyarakat sipil.

Bivitri mengatakan, berdasarkan data yang dirangkum SAFEnet, produk hukum yang paling banyak memakan korban adalah Undang-Undang (UU) ITE.

“Paling sering digunakan tentu saja adalah undang-undang ITE yang janjinya seharusnya direvisi dijanjikan paling tidak sejak setahun lalu yang resmi,” kata Bivitri dalam sebuah diskusi, Senin (5/9).

“Tapi sebenarnya wacana ini sebenarnya sudah dimulai sejak lama tapi sampai sekarang juga belum pernah dirubah tdk dibahas sama sekali,” sambungnya.

Selanjutnya, ia menyampaikan dalam kurun waktu enam tahun sudah ratusan orang yang dijerat UU ITE.

“Misalnya paling tidak ada dalam periode 2013-2021, itu 393 orang dituntut dengan undang-undang ITE, itu tidak kecil dan bukan sekedar angka,” ucapnya.

Kemudian, pendiri pusat studi hukum dan kebijakan itu menyebutkan, jika terdapat undang-undang yang berpotensi menghukum seseorang karena mengeluarkan argumennya adalah sebuah kesalahan dalam kehidupan berdemokrasi.

“Bagi demokrasi siapapun yang bisa dituntut dengan sebuah undang-undang karena menyatakan pendapat yang sebenarnya hak asasi mereka itu sudah menjadi kecelakaan besar,” jelasnya.