HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mengkritik secara khusus Pasal 218 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.

Feri menyebut, pasal 218 itu menimbulkan banyak kontroversi di masyarakat. Pasalnya frasa penghinaan terhadap Presiden bisa timbul dari sisi emosional warga negara Indonesia yang kesal terhadap kinerja pemerintah yang buruk, sehingga berpotensi muncul kalimat-kalimat yang bersifat mengkritik yang dapat disalahartikan sebagai bentuk penghinaan.

“Misalnya ada kebijakan pemerintah yang menimbulkan rasa sedih dan marah, lalu bercampur aduk lalu tersampaikan kata-kata yang bersifat menyerang. Nah, dari rasa emosional ini ia malah dipidana, ini sangat tidak diperlukan,” kata Feri Amasari dalam program Ruang Tamu Holopis Channel, Jumat (26/8).

Selanjutnya Feri menyebutkan bahwa sebaiknya Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakilnya dihapuskan dari draf RKUHP, karena pasal-pasal seperti ini berbahaya untuk demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia.

“Karena itu berbahaya untuk demokrasi dan kebebasan berpendapat, pasal-pasal ini tak diperlukan di KUHP,” tandasnya.

Sebagai informasi, Dalam Pasal 218 ayat 1 disebutkan bahwa: Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.