HOLOPIS.COM, JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa tindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup privat secara massal bertentangan dengan visi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang revolusi industri 4.0.
“Revolusi Industri 4.0 yang digadang-gadang Jokowi supaya menjadikan Indonesia maju justru bertolak belakang dengan tindakan pemblokiran Kominfo hari ini. Karena buah dari pemblokiran ini tak hanya berdampak bagi penyelenggara
tetapi juga pengguna. #BlokirKominfo,” tulisnya dalam akun Twitter @KontraS, (30/8).
Menurut organisasi yang bergerak tentang hak asasi manusia (HAM) itu, tindakan ini banyak merugikan masyarakat secara umum. Bahkan ketika PSE sudah didaftarkan, justru membawa permasalahan baru.
Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang PSE lingkup privat, banyak pasal karet yang dapat mengancam kebebasan berekspresi dan privasi warga negara.
“Apakah ketika sudah daftar masalah selesai? Tentu tidak! Karena banyak pasal karet dari aturan yang mendasari Program PSE ini, yaitu Permenkominfo 5/2020. Sungguh ironis ketika regulasi dibuat malah mengancam hak berekspresi dan perlindungan privasi warga negara. #BlokirKominfo,” lanjutnya.
Senada dengan KonstraS, pada tahun 2020, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Nenden Sekar Arum, juga menyebutkan bahwa adanya Permenkominfo 5/2020 berpotensi menyempitkan ruang berekspresi di internet.
“Hak untuk berekspresi secara online, hak untuk mengakses informasi, dan hak untuk merasa aman di internet, hak-hak tersebut yang tadi saya mention sedikit banyak berpotensi mengalami pelanggaran ketika ada hubungannya dengan Permenkominfo 5/2020,” kata Nenden dalam diskusi, Rabu (20/7).
Selain itu, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P. Wiratman, juga menyoroti peraturan ini dan menganggap banyak pasal yang bias.
“Saya mungkin kalau merefleksi pasalnya, ya jelas, disitu pasalnya nggak jelas, ya tidak mendetailkan standar hukum hak asasi manusia, terutama pembatasan,” katanya.
Dosen sekaligus Peneliti Hukum dan HAM (hak asasi manusia) itu menjelaskan bahwa hal tersebut terlihat dari apa yang sudah dilakukan pemerintah selama ini terkait keputusannya dalam pemutusan di internet. Menurutnya, pemerintah kurang transparan terkait alasan mendasar, level urgensinya, dan kepentingannya seperti apa.
“Memang selalu ada alasannya, tapi bagaimana kalau itu berkaitan dengan kritik kebijakan pemerintah atau kritik penyelenggara kekuasaan, di mana kebebasan ekspresi dapat jaminan disitu,” katanya.
Herlambang melanjutkan, ketentuan dalam pemutusan akses sistem elektronik tidak seharusnya diatur Permenkominfo. Hal itu karena berkaitan dengan hak dasar warga dan HAM.
“Membatasi hak itu tempatnya bukan di level menteri, membatasi hak itu levelnya undang-undang, itu dalam teori perundang-undangan,” lanjutnya.
Ia juga khawatir dengan adanya aturan ini dapat mengancam relevansi undang-undang kedepannya karena eksekutif pada akhirnya mengeluarkan produk hukum yang langsung membatasi tanpa melibatkan dasar hukum undang-undang.