JAKARTA – Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dikabarkan akan melarang masyarakat dari beberapa negara untuk memasuki wilayah AS. Daftar negara tersebut pun dibagi menjadi 3, yang terdiri dari Red List, Orange List, and Yellow List.
Kelompok pertama atau Red List terdapat 10 negara termasuk Iran, Suriah, Korea Utara, dll yang akan dikenakan penghentian visa secara penuh atau total.
Kemudian kelompok kedua atau orange list ada lima negara, seperti Myanmar, Sudan, Haiti, Laos, dan Eritrea yang akan diberlakukan pembatasan yang mempengaruhi visa turis, visa pelajar, serta visa imigran lainnya.
Lalu ada kelompok tiga atau yellow list, yang terdiri dengan paling banyak negara yaitu 26 negara, yang akan ada pembatasan jika tak bisa atasi kekurangan.
Daftar 41 negara yang akan dilarang serta dibatasi masuk ke Amerika Serikat :
Red List (Daftar Merah):
- Afganistan
- Bhutan
- Kuba
- Iran
- Libya
- Korea Utara
- Somalia
- Sudan
- Suriah
- Venezuela
- Yaman
Orange List (Daftar Oranye):
- Belarus
- Eritrea
- Haiti
- Laos
- Myanmar
- Pakistan
- Rusia
- Sierra Leone
- Sudan Selatan
- Turkmenistan
Yellow List (Daftar Kuning):
- Angola
- Antigua dan Barbuda
- Benin
- Burkina Faso
- Kamboja
- Kamerun
- Tanjung Verde
- Chad
- Republik Kongo
- Kongo
- Dominika
- Guinea Khatulistiwa
- Gambia
- Liberia
- Malawi
- Mali
- Mauritania
- St Kitts dan Nevis
- St Lucia
- São Tomé dan Príncipe
- Vanuatu
- Zimbabwe
Bagian dari Kebijakan Pengetatan Imigrasi Donald Trump
Sebagai informasi, instruksi Donald Trump ini merupakan bagian dari kebijakan pengetatan imigrasi, yang diterapkannya di masa awal jabatan kedua.
Saat berpidato di tahun 2023, Donald Trump juga sudah menyampaikan janji agar membatasi masuknya warga dari Gaza, Libya, Somalia, Suriah, Yaman, dan negara-negara yang dianggap dapat mengancam keamanan masyarakat Amerika Serikat.
Sebelumnya, pemerintahan Presiden Joe Biden menolak pembatasan ini karena dianggap sebagai tindakan diskriminatif. Namun Donald Trump yang kembali berkuasa diperkirakan akan mengesahkan rencana peraturan tersebut.
Sementara itu, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat hingga saat ini masih belum memberikan tanggapan terkait kabar yang sudah membuat dunia heboh tersebut.