HOLOPIS.COM, JAKARTA – Jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK mendakwa Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto atas dua perkara. Yakni, perkara dugaan merintangi penyidikan kasus dugaan suap dengan tersangka Harun Masiku dan suap kepada Komisioner KPU RI 2017-2022, Wahyu Setiawan terkait pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR RI.
Demikian terungkap saat jaksa membacakan surat dakwaan Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Jumat (14/3). Dalam perkara perintangan, Hasto disebut menghalangi KPK yang ingin menangkap Harun Masiku. Menurut Jaksa, perbuatan merintangi itu mengakibatkan Harun Masiku buron sejak 2020 hingga saat ini.
“Dengan sengaja telah melakukan perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap tersangka Harun Masiku berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin Dik/07/DIK.00/01/01/2020 tanggal 09 Januari 2020 yang dilakukan Terdakwa,” ucap jaksa KPK, Wawan Yunarwanto membacakan surat dakwaan, seperti dikutip Holopis.com.
Terkait dugaan perintangan, Hasto disebut melakukan beberapa perbuatan. Pertama, Hasto melalui Nurhasan memerintahkan Harun Masiku untuk merendam telepon genggamnya ke dalam air, setelah KPK melakukan tangkap tangan kepada Wahyu Setiawan.
Hal itu bermula setelah Pimpinan KPK saat itu menerbitkan surat perintah penyelidikan pada 26 November 2019 tentang dugaan suap di DPR RI terkait pengurusan pelaksanaan APBN 2020. Saat itu, penyelidik menemukan dugaan suap kepada penyelenggara negara di KPU RI.
“Kemudian melaporkan kepada Pimpinan KPK,” ujar jaksa.
Pimpinan KPK saat itu kemudian menerbitkan surat perintah penyelidikan dugaan suap di KPU RI pada 20 Desember 2019. Petugas KPK pada 8 Januari 2020 menerima informasi komunikasi antara Wahyu Setiawan yang menjabat sebagai Komisioner KPU dengan Agustiani Tio Fridelina.
Adapun komunikasi itu menyebut adanya penerimaan uang terkait rencana penetapan Harun Masiku sebagai Anggota DPR lewat penggantian antarwaktu (PAW). Lalu, KPK mengawasi aktivitas Wahyu, Harun, Agustiani, Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah. Selang beberapa waktu kemudian, petugas KPK berhasil mengamankan Wahyu Setiawan di Bandara Soekarno-Hatta.
“Pada sekitar pukul 18.19 WIB, Terdakwa mendapatkan informasi bahwa Wahyu Setiawan telah diamankan oleh Petugas KPK, kemudian Terdakwa melalui Nurhasan memberikan perintah kepada Harun Masiku agar merendam telepon genggam miliknya kedalam air dan memerintahkan Harun Masiku untuk menunggu (standby) di Kantor DPP PDI Perjuangan dengan tujuan agar keberadaannya tidak bisa diketahui oleh Petugas KPK,” ungkap jaksa.
“Pada sekitar pukul 18.35 WIB bertempat di sekitar Hotel Sofyan Cut Mutia Jakarta, Harun Masiku bertemu dengan Nurhasan. Menindaklanjuti perintah Terdakwa dan atas bantuan Nurhasan, pada jam 18.52 WIB
telepon genggam milik Harun Masiku tidak aktif dan tidak terlacak,” kata jaksa.
Selanjutnya, Petugas KPK memantau keberaadaan Harun Masiku melalui update posisi telepon genggam milik Nurhasan yang terpantau pada jam 20.00 WIB bersama dengan Harun Masiku berada di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Pada saat bersamaan, kata jaksa, Kusnadi selaku orang kepercayaan Hasto juga terpantau berada di PTIK.
“Kemudian Petugas KPK mendatangi PTIK namun tidak berhasil menemukan Harun Masiku,” ucap jaksa.
Adapun perbuatan kedua Hasto terkait perintangan yakni memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK. Hasto juga disebut memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggamnya saat Hasto diperiksa sebagai saksi oleh KPK, pada 10 Juni 2024.
“Bahwa pada 10 Juni 2024, Terdakwa menitipkan telepon genggamnya kepada Kusnadi, namun pada saat penyidik KPK menanyakan telepon genggam milik Terdakwa, Terdakwa menjawab tidak memiliki telepon genggam,” kata Jaksa.
Penyidik KPK saat itu mendalami lebih jauh. Telepon genggam milik Hasto ternyata dipegang oleh Kusnadi. Saat itu, penyidik KPK langsung menyita telepon genggam milik Hasto dan Kusnadi.
“Namun penyidik tidak menemukan telepon genggam milik Kusnadi yang berisi informasi terkait Harun Masiku,” ujar Jaksa.
Atas perbuatan tersebut, Hasto Kristiyanto didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHAP.
Terkait perkara suap, Hasto didakwa memberikan uang senilai SGD 57.350 atau setara Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan. Hasto memberikan suap ke Wahyu Setiawan bersama-sama dengan Harun Masiku.
“Terdakwa bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku telah memberi uang sejumlah SGD 57.350 atau setara Rp 600 juta kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yaitu kepada Wahyu Setiawam selaku Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) periode tahun 2017-2022,” tutur jaksa.
Pemberian uang kepada Wahyu itu dimaksudkan agar caleg Harun Masiku bisa dilantik menjadi caleg terpilih periode 2019-2024 menggantikan Riezky Aprilia di Dapil Sumatra Selatan (Sumsel) 1.
Pemberian suap kepada Wahyu Setiawan, dibantu oleh mantan anggota Bawaslu RI yang juga kader PDIP, Agustiani Tio Fridelina. Agustiani disebut memiliki hubungan dekat dengan Wahyu Setiawan.
Atas dugaan perbuatan itu, Hasto didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Bersama-sama Agustiani Tio Fridelina dengan maksud supaya Wahyu Setiawan bersama-sama Agustiani Tio Fridelina mengupayakan KPU RI menyetujui permohonan PAW Caleg Terpilih Dapil Sumsel-1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku,” tutur jaksa.
Usai persidangan, salah satu kuasa hukum Hasto, Febri Diansyah mempertanyakan dasar JPU KPK mendakwa kliennya tanpa mendapat bukti yang jelas. Febri juga mempertanyakan konsistensi dan logika penyidik KPK yang menjerat kliennya terlibat dalam perkara suap dan merintangi penyidikan.
“Tuduhan itu dibangun dari mencampuradukkan opini. Nah ini bahaya sekali dalam proses penegakan hukum kita,” kata Febri.
Menurut Febri, penyidik KPK menarik kesimpulan berdasarkan asumsi dan opini untuk menjerat Hasto. Dikatakan Febri, penyidik tidak berhasil menemukan telepon genggam Kusnadi yang diklaim memuat informasi soal Harun Masiku.
“Yang mengatakan handphone yang ditenggelamkan, atau kemudian handphone yang dituduhkan ditenggelamkan tersebut. Berisi informasi tentang Harun Masiku. Handphone-nya saja tidak ketemu,” ucap mantan juru bicara KPK itu.